FILSAFAT POLITIK
SEBAGAI DISIPLIN AKADEMIK
Dua cara nampaknya bisa dibayangkan ketika kita harus menggambarkan
‘state of the play’ dari filsafat politik.[1] Cara pertama, filsafat politik bisa dijelaskan dengan
mengatakan sesuatu tentang usaha filsafat politik itu sendiri. Dengan cara ini,
kita mungkin diharapkan dapat membuat definisi tentang apa itu filsafat
politik. Cara ini tidak mudah dilakukan, mengingat bukan hanya bahwa rumusan
dalam bentuk kalimat pendek tidak pernah mencukupi untuk menggambarkan
keseluruhan maksud filsafat politik, tetapi juga karena filsafat politik pada
hakikatnya bukan sesuatu yang tidak berubah. It is not an essence with
eternal nature! Filsafat politik adalah ”kegiatan yang kompleks yang hanya
dapat dipahami dengan baik melalui analisis terhadap banyak sekali cara yang
dilakukan oleh mereka yang telah mengembangkannya” (Wolin 2004: 3).
Cara kedua, yang akan kita coba tempuh, adalah dengan
melihatnya sebagai tradisi wacana khusus. Dengan ini kita dapat mendiskusikan
ciri-ciri umum tradisi tersebut, juga berbagai minat atau keprihatinan yang
telah melatarbelakangi mereka yang mengembangkannya, dan pergeseran yang
menandai garis-garis penting dalam perkembangannya. Dengan kata lain, filsafat
politik dapat dijelaskan dengan anggapan bahwa telah ada orang-orang yang
mengajarkan tema ini di berbagai universitas. Cara ini juga menyarankan kita
untuk memanfaatkan pencapaian bidang ilmu lain yang relevan dalam
mendeskripsikan pokok masalah dan pendekatan yang mungkin dapat dikembangkan.
Apa yang mereka kerjakan dan apa yang telah mereka capai? Hal ini berhubungan
dengan dua pertanyaan:
- Apa pokok masalah (subject-matter) filsafat
politik yang semestinya menjadi pegangan kita dalam bekerja?
- Metode dan pendekatan apa yang mungkin membantu untuk
mengembangkan pokok masalahnya, dan bagaimana mereka yang mempelajari
filsafat politik memilih metode dan berbagai pendekatan itu?
Jawaban terhadap beberapa butir
pertanyaan itu akan saya berikan secara ringkas, tidak dalam bentuk argumen
tetapi dalam bentuk paparan, karena tujuan saya adalah sekedar memberikan
deskripsi umum tentang filsafat politik sebagai disiplin akademik, yaitu
mengungkapkan pandangan umum (general point of view) tentang filsafat
politik, sesuatu yang diharapkan dapat menjadi bahan kajian lebih jauh bagi
siapa saja yang berminat mengembangkannya. Saya akan menutup uraian ini dengan
catatan akhir bagi mereka yang tertarik dengan bidang ilmu ini untuk membantu
mengembangkan filsafat politik di Universitas dan menarik manfaatnya dalam
kehidupan masyarakat.
POKOK MASALAH
(SUBJECT-MATTER) FILSAFAT POLITIK
Apa pokok
masalah filsafat politik? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita agaknya harus
menelusuri sejak kapan filsafat politik muncul dan mulai berkembang. Menurut
sebuah penilaian, filsafat politik ada sejak manusia menyadari dapat hidup satu
sama lain dengan cara yang lebih bermanfaat.[2] Dengan ini, kerjasama di antara manusia dimungkinkan, dan
usaha mengembangkan atau menata kehidupan bersama yang ideal melalui
rasionalitas (dan ini berarti menggantikan naluri), mulai dikembangkan. Dengan
rasionalitas manusia menyadari bahwa berbagai pilihan terbuka untuk mengatur
dan mengembangkan kehidupan bersama, meskipun tidak selalu jelas mana diantara
berbagai pilihan itu yang dapat dianggap paling baik, bahkan pertimbangan yang
relevan untuk menentukan berbagai pilihan itu juga sering kabur.[3]
Pada titik
itulah pertanyaan filsafat politik dimulai. Dengan rasionalitasnya manusia
mencoba mempertanyakan apa hakikat dari organisasi masyarakat yang baik (good)
dan tepat (right)[4] atau “bagaimana cara hidup yang terbaik dan paling tepat
bagi manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok” (Brown, 1986, p.
11; Kymlicka, 1990, p. 1). Pandangan semacam ini memang merujuk pada pengertian
modern atau kontemporer tentang filsafat politik, sebuah tradisi yang
berbeda dengan tradisi filsafat politik pada masa klasik dan abad pertengahan,
dan mengesampingkan pengaruh filsafat bahasa dan filsafat analitik yang
merupakan tradisi tersendiri.[5]
Kecenderungan
filsafat politik klasik, seperti yang nampak dalam pemikiran Plato, adalah
tidak membedakan filsafat politik dan filsafat pada umumnya, karena
penyelidikan tentang hakikat kehidupan individu yang baik (the nature of the
good life of individual) diasosiasikan dengan penyelidikan yang
mempertemukan (meskipun tidak sejajar) dengan hakikat masyarakat yang baik (the
nature of the good community). Banyak filsuf klasik lain yang terkenal
memberikan sumbangan pada perkembangan ide-ide politik, dengan menawarkan
metode analisis dan kriteria penilaian, dan karena itu secara historis
perbedaan utama antara filsafat dan filsafat politik sering dianggap sebagai
masalah spesialisasi, bukan sebagai masalah metode atau pembawaan (Wolin, 2004:
4). Persekutuan yang erat antara filsafat dan filsafat politik ini menjelaskan
mengapa para filsuf politik menerima dorongan untuk mengejar pengetahuan yang
sistematis seperti yang dilakukan para filsuf pada umumnya.
Namun, ada
pengertian lain yang lebih fundamental tentang keterkaitan yang erat antara
filsafat politik dengan filsafat pada umumnya. Filsafat dipahami sebagai usaha
mengejar kebenaran hingga ke akar-akarnya, meskipun kualitas esensial tentang
apa yang ”politis” (political) mulai mendapat perhatian di kalangan para
ahli teori politik dan pokok masalah (subject matter) filsafat politik
mulai terbentuk dengan menentukan keterkaitannya dengan apa yang dianggap
”publik” (Wolin, 2004: 4). Akan tetapi, karena filsafat digambarkan sebagai
usaha sistematis untuk memahami prinsip yang mendasari semua hal, penyelidikan
tentang apa yang ’politis’ (political) dianggap harus membentuk bagian
dari usaha berfilsafat secara umum (McBride, 1994: 1). Cicero menunjukkan pokok
perhatian filsafat politik ketika menyebut Commonwealth sebagai ”res
publica”, yang artinya ’benda publik’ (public thing), atau ’milik
rakyat’ (property of a people). Dengan ini, tatanan politik (political
arrangement) dipahami sebagai sesuatu yang unik, yang berhubungan dengan
sesuatu yang umum (common) dalam masyarakat. Satu-satunya institusi yang
menyaingi otoritas tatanan politik ini adalah Gereja abad pertengahan, meskipun
hal ini terjadi karena Gereja, dalam mengontrol ciri-ciri regim politik, telah
menjadi sesuatu yang berbeda dengan badan keagamaan.
Karena itu,
filsafat politik dapat dilihat sebagai usaha para filsuf dalam memberikan panduan
dan jawaban untuk menanggapi masalah yang menjadi perhatian masyarakat secara
keseluruhan, yaitu masalah publik atau politik. Dalam bahasa Robert N. Beck filsafat
sosial (atau politik) adalah ”kritik kefilsafatan terhadap prinsip-prinsip yang
mendasari proses sosial (atau politik) dengan cara mengembangkan argumen yang
dapat membenarkan institusi-institusi sosial dan politik, baik sebagaimana
adanya (as they actually are), atau sebagaimana yang dibayangkan (as
they imagined)” (Beck, 1967: 3). Saya berpendapat bahwa filsafat politik
sebaiknya memang dikembangkan sebagai studi tentang penilaian dan kritik moral
terhadap proses yang melandasi kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang
diarahkan pada penciptaan susunan organisasi masyarakat yang baik dan tepat.
Ada dua keunggulan yang terdapat dalam rumusan demikian itu: di satu pihak,
karena ia menggarisbawahi, dan menurut saya beralasan, bahwa ada hubungan yang
erat antara filsafat politik dengan praktek aktual, dan di pihak lain, karena
ia mengakui bahwa filsafat politik bukan sekedar hasil refleksi pasif atau
citra bayangan (mirror images) tentang masyarakat. Sebab, jauh sebelum
manusia mulai berefleksi atau berfilsafat tentang masyarakat, institusi politik
dan struktur sosial sudah ada lebih dahulu sehingga ”batas dan substansi dari subject
matter filsafat politik sebagian besar ditentukan oleh praktek-praktek yang
sudah ada dalam masyarakat” (Wolin, 2004:7). Akan tetapi, sebagian besar temuan
penting dalam studi filsafat politik juga terjadi dalam masa krisis, yaitu sebuah
masa ketika kerusakan institusional melepaskan fenomena politik menjadi tidak
lagi terintegrasi secara efektif, sehingga ”filsafat politik selalu mengandung
aspek aktif dan kreatif, yang terpisah atau berbeda dengan keadaan yang sedang
berlaku, dan secara demikian juga mengimplikasikan kritik terhadap keadaan yang
ada sekarang” (McBride, 1994: 3)
Filsafat
politik juga memiliki sejumlah karakteristik yang lain. Salah satu yang utama adalah
studi filsafat politik pada dasarnya merupakan cabang dari filsafat praktis (practical
philosophy), yaitu cabang filsafat yang, terkait erat dengan etika atau
filsafat moral, menangani pertanyaan moral dari kehidupan publik. Para ahli
mengakui adanya kontinuitas yang fundamental antara moralitas dan filsafat
politik. Robert Nozick, misalnya, mengatakan bahwa “filsafat moral menentukan
latar-belakang dan batas bagi filsafat politik“[6]. Namun, ada pandangan yang berbeda di antara para filsuf
politik menyangkut pembagian bidang moralitas dan filsafat politik dan tentang
kriteria untuk argumen yang dianggap paling berhasil (Kymlicka, 1990, p. 6).
Filsafat politik berbeda dengan etika: etika berhubungan dengan dimensi moral
pribadi, misalnya bagaimana seseorang seharusnya hidup, nilai atau gagasan
ideal apa yang seharusnya dipegang dan aturan hidup macam apa yang hendaknya
diperhatikan. Karena itu, sebagai cabang filsafat praktis, filsafat politik
berhubungan dengan sisi atau aspek sosial dari etika atau lebih tepat
berhubungan dengan pertanyaan tentang bagaimana pengaturan dan pengorganisasian
kehidupan masyarakat yang seharusnya (Brown, 1986, p. 11).
Namun, perbedaan
antara moralitas pribadi (privat morality) dan filsafat politik yang
menekankan etika bersama tidak mudah ditentukan. Aristoteles misalnya menyatakan
dalam halaman pertama Politics-nya bahwa negarawan (politikos)
tidak boleh dikacaukan dengan pemilik budak atau kepala rumah tangga: negawaran
menyangkut sesuatu yang ’politis’, sedangkan pemilik budak atau kepala rumah
tangga tidak bersangkut paut dengan yang ’politis’. Di sini, Aristoteles
menyinggung kesulitan yang dialami para filsuf politik dalam memisahkan subject-matter
yang dalam realitasnya tidak bisa dipisahkan. Kenyataannya, tanggungjawab
moral yang ada pada seseorang kepada orang lain kadang menjadi sesuatu yang
pribadi, hanya melibatkan peraturan perilaku personal, namun kadang juga
menjadi masalah publik yaitu harus dipaksakan melalui lembaga-lembaga politik.
Misalnya, ketika seorang wanita mengatakan bahwa ”yang pribadi adalah politis”
(the personal is political), ia mulai menyadari bahwa apa yang dianggap
sebagai masalah privat, domestik dan individual, dalam kenyataannya adalah
publik dan struktural.[7] Jadi, salah satu persoalan yang dihadapi filsafat
politik dalam hubungannya dengan etika nampaknya terkait dengan pertanyaan mana
yang lebih penting antara moralitas pribadi dan moralitas publik dan juga
tentang konflik yang dapat ditolerir dari nilai-nilai moral politik dan
personal.
Karakteristik
lain filsafat politik yang tak kalah penting adalah sebagai pengetahuan normatif,
yaitu bahwa filsafat politik mencoba membentuk norma (aturan atau standar
ideal), yang dapat dibedakan dari pengetahuan deskriptif, yaitu mencoba
menguraikan bagaimana sesuatu secara apa adanya (Wolf, 2006: 2). Studi normatif
mencari tahu bagaimana sesuatu seharusnya: apa yang benar, adil dan secara
moral tepat, sementara studi politik deskriptif dilakukan oleh ilmuwan politik,
sosiolog, dan ahli sejarah. Maka, meskipun filsuf politik memiliki perhatian
yang sama seperti halnya ilmuwan politik yang mempertanyakan distribusi
barang-barang dalam sebuah masyarakat, misalnya, seorang filsuf politik
(berbeda dengan ilmuwan politik) akan memusatkan perhatiannya pada aturan atau
prinsip apa yang menentukan distribusi barang-barang tersebut. Seorang filsuf
politik tidak bertanya ’bagaimana properti didistribusikan’, tetapi ’distribusi
properti semacam apa yang adil dan fair’, ia tidak bertanya ’hak dan kebebasan
apa yang sesungguhnya dimiliki rakyat’ tetapi ’ hak dan kebebasan apa yang
seharusnya dimiliki rakyat’. Tentu saja, pembagian antara studi normatif dan
studi deskriptif tidak selalu sejelas seperti yang mungkin disangka karena
masalah perilaku manusia seringkali berada di antara dua titik pembagian
deskriptif dan normatif.
Cara lain
yang kadang dilakukan untuk lebih memahami subject matter filsafat
politik adalah dengan membedakannya dari ilmu politik dan teori politik.
Menurut Brown (1986, p.14), pokok perhatian ilmu politik adalah realitas atau
peristiwa politik seperti perebutan kekuasaan, kecenderungan memilih, hubungan
antara kelas sosial dalam masyarakat dengan partai politik dan teori yang
menjelaskan realitas dari berbagai peristiwa politik itu. Sebagai pengetahuan
deskriptif, ilmu politik, tidak berkepentingan dengan pertanyaan tentang nilai,
yaitu pertanyaan benar dan salah dalam pengertian etis, jadi nilai dianggap
sebagai sesuatu yang dapat diabaikan atau setidaknya hanya dilihat sebagai
gagasan ideal. Akan tetapi, karena pertanyaan tentang nilai harus
dipertimbangkan, maka diperlukan disiplin ilmu yang menangani pertanyaan ini.
Disinilah teori politik dan filsafat politik muncul sebagai disiplin ilmu
pengetahuan yang dianggap relevan menangani pertanyaan tentang nilai, meskipun
ada perbedaan diantara keduanya:
Teori
politik, di satu pihak, merupakan kumpulan doktrin-doktrin tentang organisasi
masyarakat politik yang diinginkan, seperti liberalisme, sosialisme atau
anarkisme. Doktrin teori politik adalah deskripsi tentang kemungkinan bentuk
masyarakat yang dianggap baik dan tepat dan didalamnya juga terkandung berbagai
rencana dan program politik, dan karena itu sering diistilahkan sebagai
ideologi.[8] Filsafat politik, di pihak lain, juga menaruh perhatian
terhadap doktrin-doktrin politik, namun berbeda dengan teori politik, filsafat
politik berkepentingan untuk memberikan landasan kefilsafatan terhadap
doktrin-doktrin normatif tersebut. Asumsinya adalah bahwa teori politik (dan
sebenarnya juga teori-teori ekonomi dan sosial) bisa saja tidak memiliki
justifikasi rasional, atau hanya merupakan bentuk rasionalisasi praktek
politik, ekonomi dan sosial yang dikembangkan berdasarkan kepercayaan semata
melalui otoritas tertentu seperti agama. Karena itu, perhatian filsafat politik
diarahkan pada usaha memberikan kritik atau justifikasi terhadap
doktrin-doktrin atau teori-teori itu. Jadi, minat filsafat politik dapat
dibedakan dari teori politik dalam hal bahwa ada kebutuhan untuk memberikan landasan
rasional atas nilai-nilai, ideal-ideal dan prinsip-prinsip yang memberikan
bentuk pada teori atau doktrin itu.
Pada
tempatnyalah sekarang memberikan gambaran tentang sejumlah perkembangan filsafat
politik. Pertama, ada perbedaan yang signifikan dalam hal perhatian filsafat
politik pada masa lalu (sekitar duapuluh lima tahun yang lalu) dengan perhatian
filsafat politik dewasa ini di sebagian negara Barat. Buku-buku teks filsafat
politik kontemporer umumnya memusatkan perhatian pada tema yang berbeda dengan
perhatian studi filsafat politik di masa lalu, dan sejumlah isu yang dulu
pernah dianggap penting seperti tokoh-tokoh sejarah[9], analisis konsep kekuasaan, kedaulatan negara dan
hakikat hukum tidak lagi mendapat porsi pembahasan yang ekstentif (cf. Kymlicka,
1990; Brown, 1996; Murray, 1953). Hal ini kemungkinan besar juga mencerminkan
perubahan dan orientasi wawasan politik di dunia internasional dan dalam negeri
di banyak negara dewasa ini. Satu implikasi yang penting adalah bahwa anggapan tentang
prinsip politik yang kerap menjadi haluan politik seseorang, kelompok
masyarakat atau negara dapat dibedakan dengan cara menggambarkannya seolah
menyerupai garis tunggal yang membentang dari kiri ke kanan sudah mulai
diabaikan (Kymlicka, 1990: 1-4). Sering digambarkan bahwa mereka yang ada di
kiri dikategorikan sebagai penganut sosialisme dan karena itu mempercayai
pentingnya persamaan (equality) dan yang di kanan dikategorikan sebagai
penganut kapitalisme dan karena itu mempercayai pentingnya kebebasan individu. Di tengah-tengah adalah mereka yang menganut campuran antara
kebebasan dan persamaan dan menganut kebijaksanaan kapitalisme negara
kesejahteraan (welfare state capitalism). Tetapi, dalam kenyataannya
realitas politik modern tidak lagi sesederhana seperti yang digambarkan
tersebut. Studi filsafat politik menunjukkan bahwa ada banyak posisi di antara
ketiga titik itu dan banyak orang menerima bagian yang berbeda dari berbagai
teori yang berbeda. Jelas bahwa pembedaan prinsip dan haluan politik sebagai sebuah
garis yang membentang antara kiri dan kanan semakin tidak memadai. Munculnya
aliran teori seperti feminisme atau komunitarianisme, misalnya, dapat menjadi
petunjuk yang menjelaskan kesalahan menyederhanakan kompleksitas kehidupan
politik. Maka, mahasiswa filsafat politik memang ditantang untuk lebih kritis
dalam melihat berbagai prinsip atau haluan politik yang dianut seseorang,
sekelompok masyarakat atau sebuah negara.
Kedua, studi
filsafat politik kontemporer juga menunjukkan implikasi lebih jauh dari penyederhanaan
garis politik antara kiri dan kanan. Misalnya, jika seseorang mendukung
persamaan (equality) maka orang itu pasti dianggap menganut sosialisme,
atau jika seseorang mendukung kebebasan, maka orang itu pasti menganut
kapitalisme. Pandangan semacam ini muncul karena anggapan bahwa tiap-tiap teori
atau prinsip politik selalu memiliki landasan nilai (foundational values)
yang bertentangan, saling menolak dan tidak dapat dipadukan. Jadi, pandangan
ini mengatakan bahwa karena orang menganut nilai-nilai dasar (fundamental
values) yang berbeda, maka perbedaan prinsip-prinsip dan haluan politik
mereka tidak akan mungkin bisa diselesaikan. Hal ini berarti tidak ada jalan
yang bisa dilakukan seseorang untuk mendukung persamaan diatas kebebasan atau
mendukung kebebasan di atas persamaan, karena masing-masing merupakan landasan
nilai, dan tidak ada nilai atau premis lain yang lebih tinggi tempat keduanya
memungkinkan mencapai titik temu.
Studi
filsafat politik kontemporer membuktikan bahwa landasan nilai dalam kehidupan
politik justru lebih kompleks daripada apa yang semula disangka itu. Dengan
kata lain, landasan nilai utama dalam kehidupan politik mengalami pertumbuhan
yang sangat pesat, seperti yang terlihat dalam karya filsuf-filsuf kontemporer
seperti John Rawls (kesepakatan kontrak), kaum komunitarian (kebaikan bersama),
kaum utilitarian (kemanfaatan), Ronarld Dworkin (hak) atau kaum Feminisme
(androgini). Kenyataan ini menjelaskan bahwa mahasiswa filsafat politik harus
menerima keharusan memadukan berbagai teori yang paling relevan, ketimbang
mengharapkan suatu teori dapat memberikan petunjuk yang komprehensif. Mahasiswa
bisa mencoba memeriksa kebenaran pandangan tentang apakah landasan nilai yang
lebih dalam yang dapat menyelesaikan pertentangan di antara berbagai teori yang
ada bisa ditemukan, seperti yang misalnya telah dimulai oleh Ronald Dworkin.[10]
METODE DAN
PENDEKATAN DALAM STUDI FILSAFAT POLITIK
Sejauh ini
kita telah memahami bahwa filsafat politik bukanlah disiplin akademik yang
berdiri sendiri.[11]
Pertama, sebagai cabang dari filsafat praktis, filsafat politik berhubungan
erat dengan etika atau filsafat moral, yaitu studi yang menangani pertanyaan
tentang apa yang baik dan yang buruk dan mengapa sesuatu dianggap baik atau
buruk. Tetapi, berbeda dengan studi etika pada umumnya, perhatian filsafat
politik diarahkan pada sisi sosial dari pertanyaan-pertanyaan etis. Kedua,
sebagai studi normatif, filsafat politik tidak bisa mengabaikan begitu saja
pertanyaan faktual; pertanyaan faktual tentang perilaku manusia adalah sama
relevannya dengan isu-isu normatif, karena ”studying how things are helps to
explain how things can be, and studying how they can be is indispensable for
assessing how they ought to be” (Wolf, 2006: 3).
Maka, dari
segi metode, pertanyaannya adalah bagaimana cara menjawab pertanyaan normatif:
bagaimana kita dapat menjawab pertanyaan tentang sesuatu seharusnya? Berbeda
dengan pertanyaan deskripsi yang mudah dibayangkan dalam menjawabnya, yaitu
dengan cara mencari dan melihat fenomenanya, pertanyaan normatif hanya bisa
didekati dengan cara mempelajari dan masuk secara langsung kedalam pemikiran
para filsuf atau ahli filsafat politik yang telah bekerja dan memberi
kontribusi pada perkembangan filsafat politik. Karena itu, memilih di antara
bahan yang relevan dan pantas dipelajari dan memperhatikan bagaimana mereka
yang telah mengerjakan filsafat politik bernalar tentang politik akan
menentukan cara kita menguasai metode dalam studi filsafat politik: kita harus
memperhatikan bagaimana para filsuf politik membedakan konsep satu dengan
konsep yang lain, mengamati apakah proposisi satu bertentangan dengan proposisi
yang lain, atau apakah proposisi itu konsisten secara logis dan mereka mencoba
membuktikan bahwa tesis-tesis yang sangat mengejutkan dapat diajukan
berdasarkan tesis yang sudah dianggap jelas.
Masih ada banyak
tantangan untuk membuat metode filsafat politik menjadi lebih jelas dan
sistematis dan dapat membantu mengembangkannya. Seperti halnya ilmu politik,
ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu pengetahuan sosial pada umumnya, yang penemuannya
harus dipertimbangkan oleh studi filsafat politik, ada berbagai pendekatan yang
mungkin dapat dikembangkan dalam studi filsafat politik.
Pendekatan Sebagian
vs Sistematis (Piecemal vs Sistematic Approach)
Salah satu
problematik yang muncul dalam studi filsafat politik adalah apakah filsafat
politik harus dikembangkan melalui pendekatan sebagian atau pendekatan
sistematis. Sejumlah buku filsafat politik kontemporer telah disusun dengan
orientasi pada sejumlah konsep, seperti legitimasi, otoritas, otonomi,
demokrasi, pemilikan, hak-hak asasi, kebebasan dan persamaan.[12]
Mengembangkan pembahasan atas konsep-konsep tersebut barangkali bermanfaat
untuk membantu memahami hakikat kekuasaan negara, dan dapat memberikan
inspirasi untuk membangkitkan pemikiran alternatif tentang bentuk ideal dari
organisasi masyarakat manusia. Namun, benarkah analisis konseptual merupakan
pendekatan yang paling sesuai dalam studi filsafat politik dan harus
dikembangkan oleh para mahasiswa kita?
Berbeda
dengan apa yang terjadi sekitar duapuluh lima tahun yang lalu, tekanan studi
filsafat politik di negara-negara Barat telah mengalami pergeseran, yaitu dari
sekadar memberikan analisis konseptual terhadap makna kekuasaan, kedaulatan
negara atau hakikat hukum kepada gagasan yang lebih ideal tentang keadilan,
kebebasan dan komunitas untuk memberikan evaluasi bagi kebijaksanaan dan
institusi politik (Kymlicka 1990, 1). Lagipula, dalam kenyataannya, aktivitas
para filsuf selama ini memang tidak hanya terbatas pada analisis
konseptual, yaitu mengembangkan kejelasan makna atas berbagai konsep
dasar, tetapi juga mencakup aktivitas spekulatif, aktivitas deskriptif
atau fenomenologi dan aktivitas normatif atau evaluasi.[13]
Alan Brown juga mengatakan bahwa analisis konseptual tidak dapat menuntaskan
filsafat politik; analisis konseptual
hanya merupakan bentuk penerapan suatu pendekatan dari sekian banyak konsep
kefilsafatan, sesuatu yang tidak mencukupi untuk dipergunakan dalam
menyelesaikan tugas yang harus dijalankan oleh studi filsafat politik.
Karena itu,
menurut Brown (1986: 15), analisis konseptual hanya merupakan salah satu bentuk
pendekatan sebagian dalam studi filsafat politik. Menurut Brown, disamping
analisis konseptual (project of conceptual analysis), pendekatan
sebagian dalam studi filsafat politik juga dapat mengambil bentuk berupa
pencarian konsep-konsep normatif (project of normative inquiry). Dalam
pencarian konsep-konsep normatif, kajian tentang demokrasi, misalnya,
dikembangkan dengan memeriksa apakah demokrasi dapat diterima sebagai sesuatu
yang bernilai atau tidak bernilai.
Berbeda
dengan pendekatan sebagian, pendekatan sistematis berusaha "mengembangkan
proyek yang sistematis dan bersifat mencakup semua filsafat praktis tentang politik"
(Brown, 1986, p. 15). Dengan ini, pertama, filsafat politik melangkah jauh dari
sekadar "proyek analisis konseptual", yaitu memberikan perhatian
terhadap masalah yang muncul dalam kehidupan politik dengan memberikan petunjuk
tentang prinsip keadilan atau bentuk pemerintahan. Kedua, dengan pendekatan
sistematis, filsafat politik juga dibedakan dari sekadar usaha terlibat dalam
pencarian secara sebagian atas premis nilai yang bersifat normatif (piecemal
normative inquire). Kajian tentang konsep demokrasi misalnya akan gagal
jika dilihat hanya sebagai nilai (untuk ditolak atau disetujui) tanpa usaha
mengkaitkannya dengan keseluruhan nilai yang mendasari sebuah masyarakat.
Begitu juga, jika seseorang berpendapat, misalnya, bahwa kebebasan (freedom)
atau persamaan (equality) merupakan nilai-nilai yang penting, harus
dilihat penting dalam arti apa dan dibandingkan dengan apa. Secara demikian,
pendekatan sistematis menyarankan bahwa filsafat politik perlu terlibat dalam
totalitas citra politik, yaitu dengan terus menerus menemukan konsistensi
pandangan politik satu sama lain, dan karena itu mengharuskan bentuk kajian
yang bersifat perbandingan (interdisciplinary) atau memperhatikan antar
hubungan dari berbagai pandangan politik. Dengan pendekatan sistematis,
filsafat politik berarti melihat “kebenaran sebagai terletak pada keseluruhan”.
Asumsinya adalah politik mengatur keseluruhan bidang kehidupan dan banyak hal
yang merupakan perhatian utama individu ternyata juga harus mengalah dan diatur
oleh kehidupan politik. Pendekatan sistematis, pendek kata akan mendorong
filsafat politik terlibat untuk menangani baik aspek teoritis[14]
maupun aspek praktis dari pokok masalahnya.
Aspek
teoritis dari pokok masalah filsafat politik akan mencakup pembahasan sebagai
berikut (Brown 1986, p. ),
- logika atau analisa yang difokuskan pada makna atau
fungsi konsep-konsep seperti "baik", "benar", dan
"seharusnya". Jadi analisa diarahkan pada apa yang dimaksud jika
suatu masyarakat dikatakan tertib dan baik, misalnya.
- metode, yaitu bagaimana menentukan jenis-jenis
pertimbangan yang dianggap relevan dan dengan cara apa dapat dilakukan
evaluasi atas berbagai pilihan praktis yang saling bersaing; dengan ini
kita harus dapat memberikan alasan bagi argumentasi yang kita dipergunakan
dan bukti-bukti yang kita pilih.
- pertanyaan metafisik yaitu menyangkut pengujian
terhadap pranggapan atas pemikiran-pemikiran dan diskursus praktis, dan
memeriksa konsistensinya atau jika tidak dengan membandingkan atas dasar
penemuan ilmu pengetahuan faktual atau agama.
Sedangkan
aspek praktis dari pokok masalah filsafat politik menunjuk pada penerapan
(aplikasi) yaitu pengambilan keputusan atas suatu pilihan atau kebijakan.
Masalah yang diperhatikan adalah "tindakan-tindakan atau bentuk-bentuk
organisasi apa yang baik dan tepat". Disini mengambil keputusan tentang
bagaimana menjawab pertanyaan tidak sama dengan menjawab pertanyaan yang
diajukan, karena hal ini akan menyangkut penerapan sebuah metode dan penggunaan
sebuah teori dalam kehidupan praktis.
Meskipun demikian, sejumlah pemikir lain seperti Virginia
Held mengajukan gagasan yang berbeda, mengatakan bahwa “adanya beragam teori
terpisah bagi beragam konteks terpisah layak kita terima“.[15]
Held dalam konteks ini memang tidak secara khusus membicarakan pendekatan
filsafat politik, tetapi berbicara tentang pendekatan studi etika atau filsafat
moral. Namun, pandangannya menarik dipertimbangkan mengingat, seperti yang
sudah diuraikan, filsafat politik berhubungan erat dengan studi tentang etika
atau filsafat moral. Salah satu argumentasi Held adalah bahwa usaha mencari
sebuah teori moral ilmiah tunggal yang benar untuk menjelaskan segala sesuatu
yang terjadi dalam bidang apa saja, merupakan suatu langkah keliru yang sangat
serius yang telah dilakukan oleh para ahli teori moral di masa lalu. Dengan ini
ia mengkritik pendekatan-pendekatan yang telah dilakukan antara lain oleh John
Rawls (A Theory of Justice), Imannuel Kant (Imperative Catagories)
dan juga penganut utilitarianisme (utility), yang dinilainya sebagai
telah mengajukan teori moral yang bersifat ideal. Menurut Held, semua pandangan
itu menyajikan teori tentang apa keadilan, hak moral dan kepentingan umum dalam
sebuah masyarakat yang ideal, tetapi dalam kenyataannya masyarakat yang kita
hadapi saat ini masih sangat tidak ideal, kita bahkan belum memiliki “komunitas
manusia bebas“ seperti yang dimaksudkan oleh berbagai teori ideal. Sebaliknya,
yang kita miliki hanya masyarakat aktual, yaitu masyarakat yang merupakan
produk dari peperangan, imperialisme, eksploitasi, rasisme, patriarki, dan pemaksaan kehendak oleh yang kuat kepada
yang dikuasi. Maka, Held menganjurkan agar kita berpegang pada teori moral yang
berhubungan dengan konteks spesifik, yaitu dengan situasi aktual kita. Berbeda
dengan pendekatan sistematis, yang berusaha mengembangkan teori moralitas
politik yang tunggal dan ideal, Held menyarankan dikembangkannya teori
moralitas bagi beragam konteks. Pendekatan semacam ini disebut Held sebagai
metode moralitas eksperimental.
Saya
berpendapat, pendekatan sebagian dan pendekatan sistematis menyajikan teknik
yang berbeda dan memberikan kemungkinan hasil yang berbeda dalam usaha kita
mengembangkan filsafat politik, namun kita tidak dapat begitu saja mengabaikan
pendekatan yang satu demi pendekatan yang lain. Pendekatan sebagian dapat
mendorong munculnya penemuan yang lebih mendalam dan kritis mengenai konsep
atau isu penting tertentu dalam filsafat politik dan akan membantu menjelaskan
relevansinya dengan situasi aktual yang kita hadapi, sementara pendekatan
sistematis memungkinkan lahirnya sintesis yang kreatif dari ide-ide besar dalam
teori filsafat politik. Hal yang lain adalah baik pendekatan sebagian maupun
pendekatan sistematis memerlukan kemampuan berspekulasi, berimaginasi,
sekaligus berdialog dengan ide-ide besar dalam sejarah pemikiran manusia dan
untuk pada akhirnya menghubungkannya dengan realitas kehidupan aktual.
B. Pendekatan
Pemecahan Masalah vs Pendekatan Kritis
(Problem Solving vs Critical Approach)
Pembedaan lain yang barangkali cukup penting dan dapat
membantu dalam memahami berbagai pandangan dan strategi dalam pendekatan studi
filsafat politik adalah pendekatan pemecahan masalah (problem solving
approach) dan pendekatan kritis (critical approach) seperti yang
diajukan oleh Robert Cox[16],
seorang ilmuwan terkemuka dalam studi hubungan internasional. Menurut Cox,
pendekatan pemecahan masalah adalah,
“menerima dunia seperti apa adanya, dengan keseluruhan
institusi dan hubungan kekuasaan dan sosial yang berlaku, tempat semuanya diorganisasi,
sebagai kerangka kerja pasti untuk menentukan tindakan. Tujuan umum pemecahan
masalah adalah untuk menjadikan berbagai institusi dan hubungan itu bekerja
secara lancar, dengan menangani secara efektif sumber masalah tertentu“
Maka,
pendekatan pemecahan masalah bukan saja menerima tetapi juga membantu
memperkuat paradigma pandangan politik yang dominan. Dengan pendekatan ini,
sistem ekonomi yang didasarkan pada paham kapitalisme atau sosialisme,
misalnya, akan diterima sebagai sesuatu yang dalam dirinya sendiri tanpa
cacat ; berbagai masalah yang timbul didalamnya hanya dilihat sebagai
masalah teknis atau managerial semata sehingga memungkinkan sistem itu bekerja
secara lebih efektif dan efisien. Begitu juga, sebuah sistem dari
kepemerintahan internasional (international governance) yang
berlandaskan pada kedaulatan negara, jika diterima sebagai “kenyataan“ juga
akan memungkinkan munculnya anggapan bahwa tidak realistik untuk mengharapkan
apalagi mengajukan perubahan ekstensif terhadap sistem itu.
Dalam kajian
ideologi berkembang apa yang dinamakan konsepsi netral (neutral conception)
tentang ideologi, yaitu ketika ideologi dikembangkan oleh berbagai penulis
dalam pengertian yang murni deskriptif ; orang berbicara tentang sistem
pemikiran, tentang sistem kepercayaan atau tentang praktek simbolis untuk
mempertahankan proyek politik atau tindakan sosial.[17]
Di Indonesia, karya kebanyakan ahli ideologi Pancasila dalam masa Orde Baru
mungkin memberikan contoh yang jelas mengenai bagaimana pendekatan semacam ini
dikembangkan.[18]
Tentu saja pendekatan semacam itu tidak sesuai dengan
cita rasa filsafat politik. Sifat dasar filsafat politik adalah kritis, dan teori kritis, sebagaimana dijelaskan
Robert Cox adalah,
berdiri terpisah dari tata dunia yang berlaku…(teori
kritis) tidak menerima begitu saja berbagai institusi dan hubungan sosial dan
kekuasaan, tetapi mempertanyakannya dengan memusatkan perhatian pada
asal-usulnya, pada bagaimana, dan apakah tata dunia itu berada pada proses
perubahan. Teori kritis diarahkan untuk menilai setiap kerangka kerja bagi
tindakan atau masalah yang oleh teori pemecahan masalah diambil sebagai
ukurannya.
Pendekatan kritis, menurut Cox,
juga ”diarahkan pada kompleksitas sosial dan politik sebagai keseluruhan
daripada pada bagian yang terpisah” (1986, p. 208). Teori yang berkembang
dalam filsafat politik karena itu juga mencerminkan kecenderungan untuk
menyajikan formula yang dapat dipergunakan dalam menjawab kompleksitas sosial,
politik dan ekonomi sebagai keseluruhan, dan bukan menangani bagian tertentu
dari isu sosial, politik atau ekonomi. Teori-teori filsafat politik yang
berkembang baik yang mewakili kubu utilitarianisme, persamaan liberal,
libertarianisme, marxisme hingga feminisme pada awalnya merupakan teori yang
radikal karena menentang kerangka berpikir
dan perilaku politik yang mapan, meskipun pada perkembangan selanjutnya
teori-teori itu bisa menjadi ortodoxi dan dogma. Ketika mahasiswa menerima
paradigma berpikir atau kumpulan teori tertentu dalam aliran filsafat politik
dan kemudian mempertahankan aliran teori itu atau bekerja didalamnya untuk memberi
pembenaran terhadap tata sosial politik tertentu, maka mahasiswa telah menjauh
dari pendekatan kritis ini dan mulai memeluk pendekatan pemecahan masalah.
C. Keterikatan
(Commitment) Vs Pengambilan Jarak (Detachment) dalam Filsafat Politik
Mahasiswa yang sedang mengerjakan filsafat politik sering
terdorong untuk menunjukkan keterikatannya terhadap sebuah teori dan berusaha
menerapkannya untuk menjawab atau menjelaskan berbagai masalah politik, ekonomi
atau sosial yang menarik perhatiannya. Kecenderungan ini muncul karena
pandangan bahwa dalam mengerjakan filsafat politik mahasiswa harus menunjukkan
komitmen secara politik. Dalam ilmu
politik, termasuk filsafat politik, kecenderungan semacam ini sering dianggap
negatif karena mengancam studi filsafat politik yang sungguh-sungguh (genuine),
dan mahasiswa perlu disarankan untuk selalu mengambil jarak terhadap seluruh
pandangan atau teori dalam filsafat politik.[19]
Ini berarti, mahasiswa harus dapat melepaskan diri dari hegemoni sebuah teori,
dan mencoba mencapai objektifitas
politik sebagai tujuan dalam mengembangkan filsafat politik, jika bukan sebagai
sesuatu yang memang hendak dicapai.
Memang tidak selalu mudah memisahkan preferensi pribadi
terhadap sebuah pandangan atau teori politik. Apalagi, apa yang dinamakan
”bebas nilai” dalam filsafat politik dan juga dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu
kemanusiaan sering dianggap sebagai ilusi. Mengambil jarak, karena itu, bukan berarti
mengesampingkan keyakinan pribadi atau nilai yang dianut, tetapi menyadari asumsi
nilai sebuah teori atau aliran filsafat politik, yaitu dengan mengungkapkan
secara terbuka asumsi nilai itu dalam mengembangkan argumen menurut sebuah teori
atau aliran filsafat politik. Ini adalah ungkapan lain tentang perlunya
bersikap kritis terhadap semua aliran teori, yaitu dengan memperlakukan nilai
yang mendasari setiap teori itu sebagai sesuatu yang juga harus diteliti.
Karena mempelajari filsafat politik berarti juga memahami
dan memberikan penilaian terhadap berbagai pemikiran para filsuf politik, maka
ini akan berhasil dilakukan jika orang memperhatikan konteks umum dari
pemikiran filsuf politik itu dan memperhatikan masalah yang dicoba
dipecahkanya. Dengan kata lain, adalah penting menghayati kondisi ketika para
filsuf politik itu menuliskan karyanya dan menghayati tujuan mereka dalam
menuliskan pemikirannya. Dalam situasi nyata, mahasiswa memang perlu
mengungkapkan “apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh John Stuart Mill“, misalnya, tetapi dalam
melakukan hal ini, mahasiswa juga perlu mempertimbangan interpretasi yang
berbeda dari sumber-sumber lain yang penting yang berhubungan dengan pandangan
utama John Stuart Mill.
Pilihan antara keterikatan (commitment) dan
pengambilan jarak (detachment) hanya menunjuk pada perilaku atau sikap
ilmuwan dalam menangani pokok masalah filsafat politik dan bukan pada keyakinan
filsofis yang dianut. Pendekatan dengan mengambil jarak barangkali dapat
dilakukan baik oleh mereka yang menganut paham relativisme maupun paham absolutisme
dalam ilmu pengetahuan.[20]
Orang tetap dapat menjadi absolutis atau relativis meskipun ia menunjukkan
keterikatan tertentu atau ia mengambil jarak dengan sebuah teori atau aliran
dalam rangka menjelaskan dan menangani masalah filsafat politik.
Memang tidak dapat dikatakan bahwa pendekatan keterikatan
selalu buruk dan tidak sesuai dengan cita rasa studi filsafat politik, sebab
kadangkala terjadi justru ketika seorang mahasiswa menunjukkan komitmennya terhadap
konflik politik tertentu dalam kehidupan politik maka ia berhasil mengungkapkan
kedalaman sisi lain dari karakter fenomena politik, dimana jika dilakukan
dengan mengambil jarak, hal semacam itu kecil kemungkinan akan diperoleh. Akan
tetapi, komitmen secara politik dapat membahayakan studi filsafat politik jika
ini kemudian meniadakan dorongan untuk mempertanyakan premis-premis nilai yang
dianut oleh mahasiswa sendiri. Akibatnya karya-karya filsafat politik hanya
menjadi alat propaganda dan polemik dan bukan sebagai sarana untuk menguji
secara kritis setiap pandangan intelektual dengan suatu kerangka moral dan
politik yang lebih luas.
CATATAN AKHIR
Peranan apa
yang dapat dimainkan oleh ilmuwan, termasuk mahasiswa, yang menekuni filsafat
politik baik dalam kehidupan akademik maupun dalam kehidupan masyarakat? Saya
telah mencoba menunjukkan bahwa pokok masalah filsafat berhubungan dengan
bidang yang sangat luas, ia berhubungan dengan disiplin ilmu lain seperti
etika, teori politik, ilmu politik, ilmu sosial dan ilmu ekonomi, maupun dengan
realitas faktual dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi itu. Dengan demikian,
filsafat politik mencoba menangani susunan organisasi masyarakat atau bentuk
kehidupan bersama yang baik, bebas dan adil. Pokok perhatian semacam ini
menyarankan bahwa mahasiswa harus ditantang untuk selalu berpikir alternatif
dan imaginatif tentang bentuk dan susunan organisasi kehidupan masyarakat bersama.
Disamping itu, meskipun mahasiswa filsafat politik juga harus mempertimbangkan
berbagai penemuan aktual dari disiplin ilmu yang lain, filsafat politik tidak
dapat diarahkan untuk menangani fakta atau peristiwa politik politik yang
berlangsung sehari-hari.
Dalam
menekuni filsafat politik, mahasiswa dianjurkan untuk memberikan perhatian
terhadap berbagai topik yang dimunculkan, misalnya, oleh media massa. Namun,
hal itu tidak berarti bahwa mereka harus tenggelam dalam kesibukkan memberikan
kritik terhadap berbagai peristiwa yang terjadi sehari-hari. Perhatian filsafat
politik, sebaliknya, harus diarahkan pada tema sosial, politik dan ekonomi yang
lebih mendasar dan bukan kejadian atau peristiwa sehari-hari. Sebab, jika
mahasiswa selalu memberi komentar terhadap kejadian yang muncul kapanpun dan
dimanapun, filsafat politik sebagai disiplin ilmu akan dengan sendirinya
lenyap. Sebaliknya mahasiswa harus juga mempertimbangkan berbagai temuan yang
dihasilkan oleh studi ilmu politik dan teori politik (dan sebenarnya juga oleh
ilmu ekonomi, terutama teori-teori ekonomi politik dan teori sosial pada
umumnya) dalam usaha mereka berfilsafat. Belajar filsafat politik adalah
memupuk kemampuan untuk mengembangkan argumen yang menolak atau membenarkan
institusi sosial, politik dan ekonomi, baik yang bersifat nyata (real)
maupun yang dibayangkan (imagined). Jelas bahwa studi filsafat politik
tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dunia empiris dan interpretasi
kebudayaan tertentu, dan harus memanfaatkan semua perkembangan itu untuk
menatanya kembali dengan membentuk saling hubungan antar disiplin ilmu,
mempertimbangkan konteks yang lebih umum dan menyajikannya dalam bentuk yang
sistematis.
Karena itu,
peran mahasiswa yang menekuni filsafat politik adalah untuk mengembangkan
kedalaman teori dan untuk memberikan sumbangan pemikiran tentang bentuk yang
lebih ideal dari organisasi masyarakat atau kehidupan bersama. Disini mahasiswa
hendaknya didorong untuk tidak hanya mengulang atau menelan begitu saja
berbagai pendirian dan teori tentang bentuk kehidupan masyarakat, nilai, arah dan
tujuannya, apalagi hanya memberikan komentar instan dan terbatas terhadap
kebijaksanaan sosial, politik dan ekonomi. Sifat studi filsafat politik adalah
kritis, dan meskipun mahasiswa dapat mendekati masalahnya baik melalui
pendekatan sebagian maupun melalui pendekatan sistematis, mahasiswa juga perlu
mengembangkan sikap yang lebih mengambil jarak, yaitu mengembangkan skeptisisme
yang keras dan tidak diskriminatif terhadap teori-teori atau pendirian politik
dalam usaha mereka menangani pokok masalah filsafat politik.
Sebagian
tambahan, keahlian dalam filsafat politik juga tidak sepantasnya hanya
diabdikan kepada pemerintah atau agen kelompok politik, atau partai politik,
apalagi dimaksudkan sebagai pelayan atau juru bicara mereka. Sebagaimana
dikemukakan Hedley Bull bahwa karena tanggungjawab kaum akademisi adalah untuk
“membicarakan kebenaran dan menguak kebohongan“ (to speak the truth and
expose lies)[21], maka
mereka perlu memahami pola hubungan yang ideal antara tugas dirinya dengan
pemerintah dan agen kelompok politik. Hubungan yang terlalu jauh akan
mengurangi peluang yang diperlukan dalam memberikan saling masukan oleh karena
bagaimanapun pertukaran gagasan antara kaum akademisi, termasuk ahli filsafat
politik, dengan pemerintah dan berbagai agen kelompok politik adalah penting.
Hubungan yang terlalu dekat, sebaliknya, juga kurang baik, karena seperti dalam
kasus perkembangan ideologi Pancasila selama masa Orde Baru di Indonesia,
ketika institusi pendidikan menjadi alat pemerintah untuk menangani program
penataran P4 seperti BP7, maka yang dihasilkan adalah lingkungan akademis yang
cenderung mengembangkan kesimbukan non akademis. Karena itu, para mahasiswa dan
ahli filsafat politik tetap dapat berhubungan dengan pemerintah atau agen
kelompok politik manapun, namun mereka harus tetap mengambil jarak dengan kekuasaan
pemerintah, sebab hanya dengan inilah dapat diharapkan munculnya sumbangan
intelektual yang lebih jelas dan hanya dengan ini pula agaknya integritas
filsafat politik sebagai sebuah cabang ilmu filsafat dapat ditegakkan. ***
References
Beck,
Robert N. ed., Perspective in Social Philosophy; Reading in Philosophic
Sources of Social Thought (Holt, Rinehart and Winston, Inc. New York) 1967
Bull,
Hedley, “International Relations as an Academic Pursuit”, in Australian
Outlook, Vol. 26, 3 December 1972
Cahn,
Steven M. Political Philosophy, The Essential Texts, Oxford University
Press, New York, 2005
Cox,
Robert W., ’’Social Forces, States and World Order : Beyond
International Relations Theory “ in Robert O. Keohane (ed.), NeoRealism and its Critics, New York,
Columbia University Press, 1986
Brown,
Alan, Modern Political Philosophy. Penguin Books, Middlesex, 1986
Ebenstein,
William, Modern Political Thought: The Great Issues, Rinehart &
Company, Inc. New York, 1959
Flew,
Antony, A Dictionary of Philosophy, Pan Books, London, 1981
Goodin,
Robert E. and Philip Pettit (eds.), A Companion to Contemporary Political
Philosophy, Blackwell, Victoria, 2004
Goddin,
Robert E. and Philip Pettit (eds.), Contemporary Political Philosophy: An
Anthology, Blackwell Publisher Ltd, Oxford, 1997
Held,
Virginia, Etika Moral: Pembenaran Tindakan Sosial, Penterjemah Drs. Y.
Ardy Handoko, Erlangga, Jakarta, 1989
King,
J. Charles and James A. McGilvray, Political and Social Philosophy:
Traditional and Contemporary Readings, McGraw-Hill, New York, 1973
Kymlicka,
Will, Contemporary Political Philosophy: An Introduction. Oxford
University Press, Oxford, 1990
Matravers,
Derek and Jon Pike, Debates in Contemporary Political Philosophy An
Anthology, Routledge, London, 2003
McBride,
William L., Social and Political Philosophy, Paragon House, New York,
1994
Murray,
A.R.M., An Introduction to Political Philosophy, Cohen and West, London,
1953
Stewart,
Robert M., Readings in Social and Political Philosophy, Oxford
University Press, New York, 1996.
Thompson,
John B., Studies in the Theory of Ideology, University of California
Press, Berkeley, 1984
Wolf,
Jonathan, An Introduction to Political Philosophy, Revised Edition,
Oxford University Press, Oxford, 2006
Wolin,
Sheldon S., Politics and Vision, Expanded Edition. New Jersey, Princeton
University Press, 2004
Nozick,
Robert, Anarchy, State and Utopia, Basic Books, New York, 1974
[1] Mahasiswa sering bertanya apakah perbedaan antara
filsafat sosial dan filsafat politik. Dalam diskusi ini istilah filsafat
politik, filsafat sosial, atau filsafat sosial politik akan dipergunakan secara
bergantian dan menunjuk arti yang sama. Buku Robert N. Beck menyinggung sedikit
masalah ini dalam catatan kaki no. 1 dalam bukunya: Lihat Robert N. Beck ed., Perspective
in Social Philosophy; Reading in Philosophic Sources of Social Thought (Holt,
Rinehart and Winston, Inc. New York) 1967, p. 1; William McBride juga
mengatakan bahwa membedakan filsafat politik dengan filsafat sosial sebenarnya
tidak perlu dan merupakan usaha yang terlalu di buat-buat, lihat McBride,
William L., Social and Political Philosophy (Paragon House, New York)
1994, p. 2
[2] Lihat, Alan
Brown, Modern Political Philosophy (Penguin Books, Middlesex) 1986, p.
11
[3] Dalam kata-kata
Alan Brown: “It was obvious that there
was a variety of possible ends, values or ideals which were relevant to how a
man ought to live and act and how a community ought to be organized. It was
less obvious, on reflection, which of these values, if any, was correct” (ibid.)
[4] Dua pertanyaan
ini menjadi perdebatan penting dalam studi filsafat politik, yaitu antara paham
teoleogi dan deontologi. Pertanyaannya adalah mana yang lebih utama, apakah
prinsip kebaikan harus mengalah pada prinsip ketepatan, ataukah prinsip
ketetapan harus diletakkan di bawah prinsip kebaikan. Sebuah buku yang banyak
didiskusikan yang mengembangkan filsafat politik dengan pendekatan deontologis,
jadi berbeda dengan tradisi utilitarianism, atau liberalisme yang dikembangkan
oleh Immanuel Kant, dan John Stuart Mill dapat dilihat, misalnya, John Rawls, Political
Liberalism, With A New Introduction and the Reply to Habermas (Columbia
University Press, New York) 1993. Untuk diskusi mengenai teori kebaikan dan
teori kebenaran lihat misalnya Richard B. Brand, Theory of the Good and The
Right (Oxford University Press, Oxford), 1979, lihat juga Pettit Philip,
“The Contribution of Analytical Philosophy”, in A Companion to Contemporary
Political Philosophy, Robert E. Goodin and Philip Pettit (eds) (Blackwell,
Victoria), 2004.
[5] Uraian ringkas tentang hal ini
lihat Antony Flew, “Political Philosophy, in A Dictionary of Philosophy (Pan Books, London) 1981, pp. 279-281
[6] Dikutip dari Kymlicka, 1990: Lihat
juga Robert Nozick, Anarchy, State and Utopia (Basic Books, New York)
1974, p. 6
[7] Lihat, Jane Masbridge dan Susan
Moller Okin, “Feminism”, dalam A Companion to Contemporary Political
Philosophy, Robert E. Goodin and Philip Pettit Eds. (Blackwell, Victoria),
2004, pp. 269-290
[8] Bandingkan
dengan diskusi tentang Major Ideologies yang mencakup tema-tema khusus
seperti Anarkhism, Conservatism, Feminism, Liberalism, Marxisme, dan
Socialism dalam Goodin, Robert E.
and Philip Pettit (eds.), Ibid.
[9] Contoh teks
yang memusatkan perhatian pada tokoh lihat, J. Charles King and James A.
McGilvray, Political and Social Philosophy: Traditional and Contemporary
Readings (McGraw-Hill, New York) 1973; Steven M. Cahn, Political
Philosophy, The Essential Texts
(Oxford University Press, New York) 2005
[10] Menurut Dworkin, semua teori
politik sesungguhnya memiliki landasan nilai yang sama yaitu persamaan (equality),
jadi semuanya merupakan teori egalitarian. Dengan teori egalitarian yang
dimaksudkan adalah bukan teori yang mendukung distribusi pendapat secara
merata, tetapi merupakan gagasan untuk memperlakukan orang secara sama.
Misalnya, kaum kiri mempercayai persamaan pendapatan atau kesejahteraan sebagai
prakondisi untuk memperlakukan orang secara sama, dan kaum kanan percaya pada
hak individu yang sama atas pemilikan dan pekerjaan juga merupakan prakondisi
untuk memperlakukan orang secara sama. (Untuk pembahasan tentang masalah ini
lihat Will Kymlicka, 1990, op cit, 4; lihat juga Ronald Dworkin, Taking
Rights Seriously. (Duckworth, London) 1977, p. 179-83; Ronald Dworkin,
Law’s Empire (Harvard University Press, London) 1986, pp. 296-301 ; Ronald
Dworkin, “What is Equality?; Part III: The Place of Liberty”, Iowa Law
Review, 1987, 73/1, pp. 7-8; lihat juga Nagel T., Mortal Questions
(Cambridge University Press, Cambridge), 1979, p. 111)
[11] Buku Robert E.
Goodin dan Philip Pettit antara lain juga mencantumkan diskusi yang mendalam
dari masing-masing kontribusi penulis
yang mewakili berbagai latar belakang disiplin ilmu dalam kaitannya
dengan studi filsafat politik, mencakup filsafat
analitik, filsafat kontinental, sejarah, sosiologi, ekonomi, ilmu
politik dan studi hukum. Lihat, A Companion to Contemporary Political
Philosophy, Robert E. Goodin and Philip Pettit (eds) (Blackwell, Victoria),
2004
[12] Bandingkan,
silabus kuliah filsafat politik Christopher Bertram, 199l (dalam internet);
lihat pula sejumlah buku filsafat sosial politik dalam bahasa Inggris seperti
Robert E Goddin and Philip Pettit, (eds) Contemporary Political Philosophy:
An Anthology (Blackwell Publisher Ltd, Oxford) 1997; Robert M. Stewart, Readings
in Social and Political Philosophy (Oxford University Press, New York)
1996; lihat juga Derek Matravers and Jon Pike, Debates in Contemporary
Political Philosophy An Anthology (Routledge, London) 2003
[13] Menurut Robert
N. Beck, aktivitas spekulatif, merupakan pengembangan visi yang
komprehensif tentang alam dengan merujuk pada penemuan ilmu pengetahuan lain
termasuk seni tetapi dengan mengatasi disiplin ilmu pengetahuan itu; aktivitas deskriptif atau
fenomenologi adalah mencoba memberikan
deskripsi yang lengkap dan tidak bias tentang pengalaman; dan aktivitas normatif
atau evaluasi adalah dengan mencoba memberikan kritik dengan ukuran-ukuran
untuk memberikan penilaian dan petunjuk terhadap perilaku sosial dan individu.
Sementara, mahasiswa dapat memperlakukan keempat pendekatan itu sebagai bagian
yang saling berhubungan dan membentuk aktivitas kefilsafatan yang inklusif,
masing-masing juga dapat dipilih sebagai aktivitas kefilsafatan yang berdiri
sendiri. Lihat dalam Robert N. Beck, ed.,
Perspective in Social Philosophy; Reading in Philosophic Sources of
Social Thought (Holt, Rinehart and Winston, Inc. New York) 1967, p. 2
[14] Pengertian
teori dalam filsafat politik barangkali dapat didefinisikan sebagai kumpulan
proposisi umum yang dikembangkan mengenai masyarakat politik yang baik, bebas
dan adil
[15] Virginia Held, Etika Moral: Pembenaran Tindakan Sosial,
Penterjemah Drs. Y. Ardy Handoko, Erlangga, Jakarta, 1989, p. 4
[16] Cox, Robert
W., ’’Social Forces, States and World Order : Beyond International
Relations Theory “ in Robert O. Keohane (ed.), NeoRealism and its Critics, New York,
Columbia University Press, 1986
[17] Untuk uraian
mengenai hal ini lihat John B. Thompson, Studies in the Theory of Ideology,
University of California Press, Berkeley, 1984, p. 4
[18] Namun,
tulisan-tulisan tentang ideologi Pancasila yang menggunakan pendekatan
pemecahan masalah tidak hanya ditemui dalam masa Orde Baru, meskipun mungkin
era orde Baru Indonesia memberikan lahan yang subur untuk perkembangan tulisan
tentang ideologi Pancasila dengan pendekatan pemecahan masalah dan
kecenderungan kearah perfeksionis.
[19] Pendapat Hedley
Bull, seorang pakar studi hubungan Internasional dalam “International Relations as an Academic
Pursuit”, Australian Outlook, Vol. 26, 3 December 1972
[20] Absolutisme
pada intinya adalah paham yang mempercayai ada realitas absolut yaitu realitas
yang berdiri sendiri terlepas dari pengetahuan dan pengalaman manusia. Fungsi
pengetahuan, menurut kaum absolutis adalah merefleksikan realitas objektif
secara pasif yaitu sebagai ‘’benda dalam dirinya sendiri’’ (things in
themselves). Relativisme, sebaliknya, mengatakan hanya nilai yang relatif
yang dapat dikenali oleh pengetahuan manusia, karena manusialah yang membentuk
dunianya sendiri dengan pengetahuan yang ada dalam diri manusia. (lihat dalam
William Ebenstein, Modern Political Thought: The Great Issues, Rinehart
& Company, Inc. New York, 1959, p. 6-7)
[21] Bull, op
cit., mengutip pendapat Noam Chomsky
dalam American Power and the New Mandarin, Vintage Books, 1967, p. 325
FILSAFAT POLITIK
SEBAGAI DISIPLIN AKADEMIK
Dua cara nampaknya bisa dibayangkan ketika kita harus menggambarkan
‘state of the play’ dari filsafat politik.[1] Cara pertama, filsafat politik bisa dijelaskan dengan
mengatakan sesuatu tentang usaha filsafat politik itu sendiri. Dengan cara ini,
kita mungkin diharapkan dapat membuat definisi tentang apa itu filsafat
politik. Cara ini tidak mudah dilakukan, mengingat bukan hanya bahwa rumusan
dalam bentuk kalimat pendek tidak pernah mencukupi untuk menggambarkan
keseluruhan maksud filsafat politik, tetapi juga karena filsafat politik pada
hakikatnya bukan sesuatu yang tidak berubah. It is not an essence with
eternal nature! Filsafat politik adalah ”kegiatan yang kompleks yang hanya
dapat dipahami dengan baik melalui analisis terhadap banyak sekali cara yang
dilakukan oleh mereka yang telah mengembangkannya” (Wolin 2004: 3).
Cara kedua, yang akan kita coba tempuh, adalah dengan
melihatnya sebagai tradisi wacana khusus. Dengan ini kita dapat mendiskusikan
ciri-ciri umum tradisi tersebut, juga berbagai minat atau keprihatinan yang
telah melatarbelakangi mereka yang mengembangkannya, dan pergeseran yang
menandai garis-garis penting dalam perkembangannya. Dengan kata lain, filsafat
politik dapat dijelaskan dengan anggapan bahwa telah ada orang-orang yang
mengajarkan tema ini di berbagai universitas. Cara ini juga menyarankan kita
untuk memanfaatkan pencapaian bidang ilmu lain yang relevan dalam
mendeskripsikan pokok masalah dan pendekatan yang mungkin dapat dikembangkan.
Apa yang mereka kerjakan dan apa yang telah mereka capai? Hal ini berhubungan
dengan dua pertanyaan:
- Apa pokok masalah (subject-matter) filsafat
politik yang semestinya menjadi pegangan kita dalam bekerja?
- Metode dan pendekatan apa yang mungkin membantu untuk
mengembangkan pokok masalahnya, dan bagaimana mereka yang mempelajari
filsafat politik memilih metode dan berbagai pendekatan itu?
Jawaban terhadap beberapa butir
pertanyaan itu akan saya berikan secara ringkas, tidak dalam bentuk argumen
tetapi dalam bentuk paparan, karena tujuan saya adalah sekedar memberikan
deskripsi umum tentang filsafat politik sebagai disiplin akademik, yaitu
mengungkapkan pandangan umum (general point of view) tentang filsafat
politik, sesuatu yang diharapkan dapat menjadi bahan kajian lebih jauh bagi
siapa saja yang berminat mengembangkannya. Saya akan menutup uraian ini dengan
catatan akhir bagi mereka yang tertarik dengan bidang ilmu ini untuk membantu
mengembangkan filsafat politik di Universitas dan menarik manfaatnya dalam
kehidupan masyarakat.
POKOK MASALAH
(SUBJECT-MATTER) FILSAFAT POLITIK
Apa pokok
masalah filsafat politik? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita agaknya harus
menelusuri sejak kapan filsafat politik muncul dan mulai berkembang. Menurut
sebuah penilaian, filsafat politik ada sejak manusia menyadari dapat hidup satu
sama lain dengan cara yang lebih bermanfaat.[2] Dengan ini, kerjasama di antara manusia dimungkinkan, dan
usaha mengembangkan atau menata kehidupan bersama yang ideal melalui
rasionalitas (dan ini berarti menggantikan naluri), mulai dikembangkan. Dengan
rasionalitas manusia menyadari bahwa berbagai pilihan terbuka untuk mengatur
dan mengembangkan kehidupan bersama, meskipun tidak selalu jelas mana diantara
berbagai pilihan itu yang dapat dianggap paling baik, bahkan pertimbangan yang
relevan untuk menentukan berbagai pilihan itu juga sering kabur.[3]
Pada titik
itulah pertanyaan filsafat politik dimulai. Dengan rasionalitasnya manusia
mencoba mempertanyakan apa hakikat dari organisasi masyarakat yang baik (good)
dan tepat (right)[4] atau “bagaimana cara hidup yang terbaik dan paling tepat
bagi manusia, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok” (Brown, 1986, p.
11; Kymlicka, 1990, p. 1). Pandangan semacam ini memang merujuk pada pengertian
modern atau kontemporer tentang filsafat politik, sebuah tradisi yang
berbeda dengan tradisi filsafat politik pada masa klasik dan abad pertengahan,
dan mengesampingkan pengaruh filsafat bahasa dan filsafat analitik yang
merupakan tradisi tersendiri.[5]
Kecenderungan
filsafat politik klasik, seperti yang nampak dalam pemikiran Plato, adalah
tidak membedakan filsafat politik dan filsafat pada umumnya, karena
penyelidikan tentang hakikat kehidupan individu yang baik (the nature of the
good life of individual) diasosiasikan dengan penyelidikan yang
mempertemukan (meskipun tidak sejajar) dengan hakikat masyarakat yang baik (the
nature of the good community). Banyak filsuf klasik lain yang terkenal
memberikan sumbangan pada perkembangan ide-ide politik, dengan menawarkan
metode analisis dan kriteria penilaian, dan karena itu secara historis
perbedaan utama antara filsafat dan filsafat politik sering dianggap sebagai
masalah spesialisasi, bukan sebagai masalah metode atau pembawaan (Wolin, 2004:
4). Persekutuan yang erat antara filsafat dan filsafat politik ini menjelaskan
mengapa para filsuf politik menerima dorongan untuk mengejar pengetahuan yang
sistematis seperti yang dilakukan para filsuf pada umumnya.
Namun, ada
pengertian lain yang lebih fundamental tentang keterkaitan yang erat antara
filsafat politik dengan filsafat pada umumnya. Filsafat dipahami sebagai usaha
mengejar kebenaran hingga ke akar-akarnya, meskipun kualitas esensial tentang
apa yang ”politis” (political) mulai mendapat perhatian di kalangan para
ahli teori politik dan pokok masalah (subject matter) filsafat politik
mulai terbentuk dengan menentukan keterkaitannya dengan apa yang dianggap
”publik” (Wolin, 2004: 4). Akan tetapi, karena filsafat digambarkan sebagai
usaha sistematis untuk memahami prinsip yang mendasari semua hal, penyelidikan
tentang apa yang ’politis’ (political) dianggap harus membentuk bagian
dari usaha berfilsafat secara umum (McBride, 1994: 1). Cicero menunjukkan pokok
perhatian filsafat politik ketika menyebut Commonwealth sebagai ”res
publica”, yang artinya ’benda publik’ (public thing), atau ’milik
rakyat’ (property of a people). Dengan ini, tatanan politik (political
arrangement) dipahami sebagai sesuatu yang unik, yang berhubungan dengan
sesuatu yang umum (common) dalam masyarakat. Satu-satunya institusi yang
menyaingi otoritas tatanan politik ini adalah Gereja abad pertengahan, meskipun
hal ini terjadi karena Gereja, dalam mengontrol ciri-ciri regim politik, telah
menjadi sesuatu yang berbeda dengan badan keagamaan.
Karena itu,
filsafat politik dapat dilihat sebagai usaha para filsuf dalam memberikan panduan
dan jawaban untuk menanggapi masalah yang menjadi perhatian masyarakat secara
keseluruhan, yaitu masalah publik atau politik. Dalam bahasa Robert N. Beck filsafat
sosial (atau politik) adalah ”kritik kefilsafatan terhadap prinsip-prinsip yang
mendasari proses sosial (atau politik) dengan cara mengembangkan argumen yang
dapat membenarkan institusi-institusi sosial dan politik, baik sebagaimana
adanya (as they actually are), atau sebagaimana yang dibayangkan (as
they imagined)” (Beck, 1967: 3). Saya berpendapat bahwa filsafat politik
sebaiknya memang dikembangkan sebagai studi tentang penilaian dan kritik moral
terhadap proses yang melandasi kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang
diarahkan pada penciptaan susunan organisasi masyarakat yang baik dan tepat.
Ada dua keunggulan yang terdapat dalam rumusan demikian itu: di satu pihak,
karena ia menggarisbawahi, dan menurut saya beralasan, bahwa ada hubungan yang
erat antara filsafat politik dengan praktek aktual, dan di pihak lain, karena
ia mengakui bahwa filsafat politik bukan sekedar hasil refleksi pasif atau
citra bayangan (mirror images) tentang masyarakat. Sebab, jauh sebelum
manusia mulai berefleksi atau berfilsafat tentang masyarakat, institusi politik
dan struktur sosial sudah ada lebih dahulu sehingga ”batas dan substansi dari subject
matter filsafat politik sebagian besar ditentukan oleh praktek-praktek yang
sudah ada dalam masyarakat” (Wolin, 2004:7). Akan tetapi, sebagian besar temuan
penting dalam studi filsafat politik juga terjadi dalam masa krisis, yaitu sebuah
masa ketika kerusakan institusional melepaskan fenomena politik menjadi tidak
lagi terintegrasi secara efektif, sehingga ”filsafat politik selalu mengandung
aspek aktif dan kreatif, yang terpisah atau berbeda dengan keadaan yang sedang
berlaku, dan secara demikian juga mengimplikasikan kritik terhadap keadaan yang
ada sekarang” (McBride, 1994: 3)
Filsafat
politik juga memiliki sejumlah karakteristik yang lain. Salah satu yang utama adalah
studi filsafat politik pada dasarnya merupakan cabang dari filsafat praktis (practical
philosophy), yaitu cabang filsafat yang, terkait erat dengan etika atau
filsafat moral, menangani pertanyaan moral dari kehidupan publik. Para ahli
mengakui adanya kontinuitas yang fundamental antara moralitas dan filsafat
politik. Robert Nozick, misalnya, mengatakan bahwa “filsafat moral menentukan
latar-belakang dan batas bagi filsafat politik“[6]. Namun, ada pandangan yang berbeda di antara para filsuf
politik menyangkut pembagian bidang moralitas dan filsafat politik dan tentang
kriteria untuk argumen yang dianggap paling berhasil (Kymlicka, 1990, p. 6).
Filsafat politik berbeda dengan etika: etika berhubungan dengan dimensi moral
pribadi, misalnya bagaimana seseorang seharusnya hidup, nilai atau gagasan
ideal apa yang seharusnya dipegang dan aturan hidup macam apa yang hendaknya
diperhatikan. Karena itu, sebagai cabang filsafat praktis, filsafat politik
berhubungan dengan sisi atau aspek sosial dari etika atau lebih tepat
berhubungan dengan pertanyaan tentang bagaimana pengaturan dan pengorganisasian
kehidupan masyarakat yang seharusnya (Brown, 1986, p. 11).
Namun, perbedaan
antara moralitas pribadi (privat morality) dan filsafat politik yang
menekankan etika bersama tidak mudah ditentukan. Aristoteles misalnya menyatakan
dalam halaman pertama Politics-nya bahwa negarawan (politikos)
tidak boleh dikacaukan dengan pemilik budak atau kepala rumah tangga: negawaran
menyangkut sesuatu yang ’politis’, sedangkan pemilik budak atau kepala rumah
tangga tidak bersangkut paut dengan yang ’politis’. Di sini, Aristoteles
menyinggung kesulitan yang dialami para filsuf politik dalam memisahkan subject-matter
yang dalam realitasnya tidak bisa dipisahkan. Kenyataannya, tanggungjawab
moral yang ada pada seseorang kepada orang lain kadang menjadi sesuatu yang
pribadi, hanya melibatkan peraturan perilaku personal, namun kadang juga
menjadi masalah publik yaitu harus dipaksakan melalui lembaga-lembaga politik.
Misalnya, ketika seorang wanita mengatakan bahwa ”yang pribadi adalah politis”
(the personal is political), ia mulai menyadari bahwa apa yang dianggap
sebagai masalah privat, domestik dan individual, dalam kenyataannya adalah
publik dan struktural.[7] Jadi, salah satu persoalan yang dihadapi filsafat
politik dalam hubungannya dengan etika nampaknya terkait dengan pertanyaan mana
yang lebih penting antara moralitas pribadi dan moralitas publik dan juga
tentang konflik yang dapat ditolerir dari nilai-nilai moral politik dan
personal.
Karakteristik
lain filsafat politik yang tak kalah penting adalah sebagai pengetahuan normatif,
yaitu bahwa filsafat politik mencoba membentuk norma (aturan atau standar
ideal), yang dapat dibedakan dari pengetahuan deskriptif, yaitu mencoba
menguraikan bagaimana sesuatu secara apa adanya (Wolf, 2006: 2). Studi normatif
mencari tahu bagaimana sesuatu seharusnya: apa yang benar, adil dan secara
moral tepat, sementara studi politik deskriptif dilakukan oleh ilmuwan politik,
sosiolog, dan ahli sejarah. Maka, meskipun filsuf politik memiliki perhatian
yang sama seperti halnya ilmuwan politik yang mempertanyakan distribusi
barang-barang dalam sebuah masyarakat, misalnya, seorang filsuf politik
(berbeda dengan ilmuwan politik) akan memusatkan perhatiannya pada aturan atau
prinsip apa yang menentukan distribusi barang-barang tersebut. Seorang filsuf
politik tidak bertanya ’bagaimana properti didistribusikan’, tetapi ’distribusi
properti semacam apa yang adil dan fair’, ia tidak bertanya ’hak dan kebebasan
apa yang sesungguhnya dimiliki rakyat’ tetapi ’ hak dan kebebasan apa yang
seharusnya dimiliki rakyat’. Tentu saja, pembagian antara studi normatif dan
studi deskriptif tidak selalu sejelas seperti yang mungkin disangka karena
masalah perilaku manusia seringkali berada di antara dua titik pembagian
deskriptif dan normatif.
Cara lain
yang kadang dilakukan untuk lebih memahami subject matter filsafat
politik adalah dengan membedakannya dari ilmu politik dan teori politik.
Menurut Brown (1986, p.14), pokok perhatian ilmu politik adalah realitas atau
peristiwa politik seperti perebutan kekuasaan, kecenderungan memilih, hubungan
antara kelas sosial dalam masyarakat dengan partai politik dan teori yang
menjelaskan realitas dari berbagai peristiwa politik itu. Sebagai pengetahuan
deskriptif, ilmu politik, tidak berkepentingan dengan pertanyaan tentang nilai,
yaitu pertanyaan benar dan salah dalam pengertian etis, jadi nilai dianggap
sebagai sesuatu yang dapat diabaikan atau setidaknya hanya dilihat sebagai
gagasan ideal. Akan tetapi, karena pertanyaan tentang nilai harus
dipertimbangkan, maka diperlukan disiplin ilmu yang menangani pertanyaan ini.
Disinilah teori politik dan filsafat politik muncul sebagai disiplin ilmu
pengetahuan yang dianggap relevan menangani pertanyaan tentang nilai, meskipun
ada perbedaan diantara keduanya:
Teori
politik, di satu pihak, merupakan kumpulan doktrin-doktrin tentang organisasi
masyarakat politik yang diinginkan, seperti liberalisme, sosialisme atau
anarkisme. Doktrin teori politik adalah deskripsi tentang kemungkinan bentuk
masyarakat yang dianggap baik dan tepat dan didalamnya juga terkandung berbagai
rencana dan program politik, dan karena itu sering diistilahkan sebagai
ideologi.[8] Filsafat politik, di pihak lain, juga menaruh perhatian
terhadap doktrin-doktrin politik, namun berbeda dengan teori politik, filsafat
politik berkepentingan untuk memberikan landasan kefilsafatan terhadap
doktrin-doktrin normatif tersebut. Asumsinya adalah bahwa teori politik (dan
sebenarnya juga teori-teori ekonomi dan sosial) bisa saja tidak memiliki
justifikasi rasional, atau hanya merupakan bentuk rasionalisasi praktek
politik, ekonomi dan sosial yang dikembangkan berdasarkan kepercayaan semata
melalui otoritas tertentu seperti agama. Karena itu, perhatian filsafat politik
diarahkan pada usaha memberikan kritik atau justifikasi terhadap
doktrin-doktrin atau teori-teori itu. Jadi, minat filsafat politik dapat
dibedakan dari teori politik dalam hal bahwa ada kebutuhan untuk memberikan landasan
rasional atas nilai-nilai, ideal-ideal dan prinsip-prinsip yang memberikan
bentuk pada teori atau doktrin itu.
Pada
tempatnyalah sekarang memberikan gambaran tentang sejumlah perkembangan filsafat
politik. Pertama, ada perbedaan yang signifikan dalam hal perhatian filsafat
politik pada masa lalu (sekitar duapuluh lima tahun yang lalu) dengan perhatian
filsafat politik dewasa ini di sebagian negara Barat. Buku-buku teks filsafat
politik kontemporer umumnya memusatkan perhatian pada tema yang berbeda dengan
perhatian studi filsafat politik di masa lalu, dan sejumlah isu yang dulu
pernah dianggap penting seperti tokoh-tokoh sejarah[9], analisis konsep kekuasaan, kedaulatan negara dan
hakikat hukum tidak lagi mendapat porsi pembahasan yang ekstentif (cf. Kymlicka,
1990; Brown, 1996; Murray, 1953). Hal ini kemungkinan besar juga mencerminkan
perubahan dan orientasi wawasan politik di dunia internasional dan dalam negeri
di banyak negara dewasa ini. Satu implikasi yang penting adalah bahwa anggapan tentang
prinsip politik yang kerap menjadi haluan politik seseorang, kelompok
masyarakat atau negara dapat dibedakan dengan cara menggambarkannya seolah
menyerupai garis tunggal yang membentang dari kiri ke kanan sudah mulai
diabaikan (Kymlicka, 1990: 1-4). Sering digambarkan bahwa mereka yang ada di
kiri dikategorikan sebagai penganut sosialisme dan karena itu mempercayai
pentingnya persamaan (equality) dan yang di kanan dikategorikan sebagai
penganut kapitalisme dan karena itu mempercayai pentingnya kebebasan individu. Di tengah-tengah adalah mereka yang menganut campuran antara
kebebasan dan persamaan dan menganut kebijaksanaan kapitalisme negara
kesejahteraan (welfare state capitalism). Tetapi, dalam kenyataannya
realitas politik modern tidak lagi sesederhana seperti yang digambarkan
tersebut. Studi filsafat politik menunjukkan bahwa ada banyak posisi di antara
ketiga titik itu dan banyak orang menerima bagian yang berbeda dari berbagai
teori yang berbeda. Jelas bahwa pembedaan prinsip dan haluan politik sebagai sebuah
garis yang membentang antara kiri dan kanan semakin tidak memadai. Munculnya
aliran teori seperti feminisme atau komunitarianisme, misalnya, dapat menjadi
petunjuk yang menjelaskan kesalahan menyederhanakan kompleksitas kehidupan
politik. Maka, mahasiswa filsafat politik memang ditantang untuk lebih kritis
dalam melihat berbagai prinsip atau haluan politik yang dianut seseorang,
sekelompok masyarakat atau sebuah negara.
Kedua, studi
filsafat politik kontemporer juga menunjukkan implikasi lebih jauh dari penyederhanaan
garis politik antara kiri dan kanan. Misalnya, jika seseorang mendukung
persamaan (equality) maka orang itu pasti dianggap menganut sosialisme,
atau jika seseorang mendukung kebebasan, maka orang itu pasti menganut
kapitalisme. Pandangan semacam ini muncul karena anggapan bahwa tiap-tiap teori
atau prinsip politik selalu memiliki landasan nilai (foundational values)
yang bertentangan, saling menolak dan tidak dapat dipadukan. Jadi, pandangan
ini mengatakan bahwa karena orang menganut nilai-nilai dasar (fundamental
values) yang berbeda, maka perbedaan prinsip-prinsip dan haluan politik
mereka tidak akan mungkin bisa diselesaikan. Hal ini berarti tidak ada jalan
yang bisa dilakukan seseorang untuk mendukung persamaan diatas kebebasan atau
mendukung kebebasan di atas persamaan, karena masing-masing merupakan landasan
nilai, dan tidak ada nilai atau premis lain yang lebih tinggi tempat keduanya
memungkinkan mencapai titik temu.
Studi
filsafat politik kontemporer membuktikan bahwa landasan nilai dalam kehidupan
politik justru lebih kompleks daripada apa yang semula disangka itu. Dengan
kata lain, landasan nilai utama dalam kehidupan politik mengalami pertumbuhan
yang sangat pesat, seperti yang terlihat dalam karya filsuf-filsuf kontemporer
seperti John Rawls (kesepakatan kontrak), kaum komunitarian (kebaikan bersama),
kaum utilitarian (kemanfaatan), Ronarld Dworkin (hak) atau kaum Feminisme
(androgini). Kenyataan ini menjelaskan bahwa mahasiswa filsafat politik harus
menerima keharusan memadukan berbagai teori yang paling relevan, ketimbang
mengharapkan suatu teori dapat memberikan petunjuk yang komprehensif. Mahasiswa
bisa mencoba memeriksa kebenaran pandangan tentang apakah landasan nilai yang
lebih dalam yang dapat menyelesaikan pertentangan di antara berbagai teori yang
ada bisa ditemukan, seperti yang misalnya telah dimulai oleh Ronald Dworkin.[10]
METODE DAN
PENDEKATAN DALAM STUDI FILSAFAT POLITIK
Sejauh ini
kita telah memahami bahwa filsafat politik bukanlah disiplin akademik yang
berdiri sendiri.[11]
Pertama, sebagai cabang dari filsafat praktis, filsafat politik berhubungan
erat dengan etika atau filsafat moral, yaitu studi yang menangani pertanyaan
tentang apa yang baik dan yang buruk dan mengapa sesuatu dianggap baik atau
buruk. Tetapi, berbeda dengan studi etika pada umumnya, perhatian filsafat
politik diarahkan pada sisi sosial dari pertanyaan-pertanyaan etis. Kedua,
sebagai studi normatif, filsafat politik tidak bisa mengabaikan begitu saja
pertanyaan faktual; pertanyaan faktual tentang perilaku manusia adalah sama
relevannya dengan isu-isu normatif, karena ”studying how things are helps to
explain how things can be, and studying how they can be is indispensable for
assessing how they ought to be” (Wolf, 2006: 3).
Maka, dari
segi metode, pertanyaannya adalah bagaimana cara menjawab pertanyaan normatif:
bagaimana kita dapat menjawab pertanyaan tentang sesuatu seharusnya? Berbeda
dengan pertanyaan deskripsi yang mudah dibayangkan dalam menjawabnya, yaitu
dengan cara mencari dan melihat fenomenanya, pertanyaan normatif hanya bisa
didekati dengan cara mempelajari dan masuk secara langsung kedalam pemikiran
para filsuf atau ahli filsafat politik yang telah bekerja dan memberi
kontribusi pada perkembangan filsafat politik. Karena itu, memilih di antara
bahan yang relevan dan pantas dipelajari dan memperhatikan bagaimana mereka
yang telah mengerjakan filsafat politik bernalar tentang politik akan
menentukan cara kita menguasai metode dalam studi filsafat politik: kita harus
memperhatikan bagaimana para filsuf politik membedakan konsep satu dengan
konsep yang lain, mengamati apakah proposisi satu bertentangan dengan proposisi
yang lain, atau apakah proposisi itu konsisten secara logis dan mereka mencoba
membuktikan bahwa tesis-tesis yang sangat mengejutkan dapat diajukan
berdasarkan tesis yang sudah dianggap jelas.
Masih ada banyak
tantangan untuk membuat metode filsafat politik menjadi lebih jelas dan
sistematis dan dapat membantu mengembangkannya. Seperti halnya ilmu politik,
ilmu ekonomi dan ilmu-ilmu pengetahuan sosial pada umumnya, yang penemuannya
harus dipertimbangkan oleh studi filsafat politik, ada berbagai pendekatan yang
mungkin dapat dikembangkan dalam studi filsafat politik.
Pendekatan Sebagian
vs Sistematis (Piecemal vs Sistematic Approach)
Salah satu
problematik yang muncul dalam studi filsafat politik adalah apakah filsafat
politik harus dikembangkan melalui pendekatan sebagian atau pendekatan
sistematis. Sejumlah buku filsafat politik kontemporer telah disusun dengan
orientasi pada sejumlah konsep, seperti legitimasi, otoritas, otonomi,
demokrasi, pemilikan, hak-hak asasi, kebebasan dan persamaan.[12]
Mengembangkan pembahasan atas konsep-konsep tersebut barangkali bermanfaat
untuk membantu memahami hakikat kekuasaan negara, dan dapat memberikan
inspirasi untuk membangkitkan pemikiran alternatif tentang bentuk ideal dari
organisasi masyarakat manusia. Namun, benarkah analisis konseptual merupakan
pendekatan yang paling sesuai dalam studi filsafat politik dan harus
dikembangkan oleh para mahasiswa kita?
Berbeda
dengan apa yang terjadi sekitar duapuluh lima tahun yang lalu, tekanan studi
filsafat politik di negara-negara Barat telah mengalami pergeseran, yaitu dari
sekadar memberikan analisis konseptual terhadap makna kekuasaan, kedaulatan
negara atau hakikat hukum kepada gagasan yang lebih ideal tentang keadilan,
kebebasan dan komunitas untuk memberikan evaluasi bagi kebijaksanaan dan
institusi politik (Kymlicka 1990, 1). Lagipula, dalam kenyataannya, aktivitas
para filsuf selama ini memang tidak hanya terbatas pada analisis
konseptual, yaitu mengembangkan kejelasan makna atas berbagai konsep
dasar, tetapi juga mencakup aktivitas spekulatif, aktivitas deskriptif
atau fenomenologi dan aktivitas normatif atau evaluasi.[13]
Alan Brown juga mengatakan bahwa analisis konseptual tidak dapat menuntaskan
filsafat politik; analisis konseptual
hanya merupakan bentuk penerapan suatu pendekatan dari sekian banyak konsep
kefilsafatan, sesuatu yang tidak mencukupi untuk dipergunakan dalam
menyelesaikan tugas yang harus dijalankan oleh studi filsafat politik.
Karena itu,
menurut Brown (1986: 15), analisis konseptual hanya merupakan salah satu bentuk
pendekatan sebagian dalam studi filsafat politik. Menurut Brown, disamping
analisis konseptual (project of conceptual analysis), pendekatan
sebagian dalam studi filsafat politik juga dapat mengambil bentuk berupa
pencarian konsep-konsep normatif (project of normative inquiry). Dalam
pencarian konsep-konsep normatif, kajian tentang demokrasi, misalnya,
dikembangkan dengan memeriksa apakah demokrasi dapat diterima sebagai sesuatu
yang bernilai atau tidak bernilai.
Berbeda
dengan pendekatan sebagian, pendekatan sistematis berusaha "mengembangkan
proyek yang sistematis dan bersifat mencakup semua filsafat praktis tentang politik"
(Brown, 1986, p. 15). Dengan ini, pertama, filsafat politik melangkah jauh dari
sekadar "proyek analisis konseptual", yaitu memberikan perhatian
terhadap masalah yang muncul dalam kehidupan politik dengan memberikan petunjuk
tentang prinsip keadilan atau bentuk pemerintahan. Kedua, dengan pendekatan
sistematis, filsafat politik juga dibedakan dari sekadar usaha terlibat dalam
pencarian secara sebagian atas premis nilai yang bersifat normatif (piecemal
normative inquire). Kajian tentang konsep demokrasi misalnya akan gagal
jika dilihat hanya sebagai nilai (untuk ditolak atau disetujui) tanpa usaha
mengkaitkannya dengan keseluruhan nilai yang mendasari sebuah masyarakat.
Begitu juga, jika seseorang berpendapat, misalnya, bahwa kebebasan (freedom)
atau persamaan (equality) merupakan nilai-nilai yang penting, harus
dilihat penting dalam arti apa dan dibandingkan dengan apa. Secara demikian,
pendekatan sistematis menyarankan bahwa filsafat politik perlu terlibat dalam
totalitas citra politik, yaitu dengan terus menerus menemukan konsistensi
pandangan politik satu sama lain, dan karena itu mengharuskan bentuk kajian
yang bersifat perbandingan (interdisciplinary) atau memperhatikan antar
hubungan dari berbagai pandangan politik. Dengan pendekatan sistematis,
filsafat politik berarti melihat “kebenaran sebagai terletak pada keseluruhan”.
Asumsinya adalah politik mengatur keseluruhan bidang kehidupan dan banyak hal
yang merupakan perhatian utama individu ternyata juga harus mengalah dan diatur
oleh kehidupan politik. Pendekatan sistematis, pendek kata akan mendorong
filsafat politik terlibat untuk menangani baik aspek teoritis[14]
maupun aspek praktis dari pokok masalahnya.
Aspek
teoritis dari pokok masalah filsafat politik akan mencakup pembahasan sebagai
berikut (Brown 1986, p. ),
- logika atau analisa yang difokuskan pada makna atau
fungsi konsep-konsep seperti "baik", "benar", dan
"seharusnya". Jadi analisa diarahkan pada apa yang dimaksud jika
suatu masyarakat dikatakan tertib dan baik, misalnya.
- metode, yaitu bagaimana menentukan jenis-jenis
pertimbangan yang dianggap relevan dan dengan cara apa dapat dilakukan
evaluasi atas berbagai pilihan praktis yang saling bersaing; dengan ini
kita harus dapat memberikan alasan bagi argumentasi yang kita dipergunakan
dan bukti-bukti yang kita pilih.
- pertanyaan metafisik yaitu menyangkut pengujian
terhadap pranggapan atas pemikiran-pemikiran dan diskursus praktis, dan
memeriksa konsistensinya atau jika tidak dengan membandingkan atas dasar
penemuan ilmu pengetahuan faktual atau agama.
Sedangkan
aspek praktis dari pokok masalah filsafat politik menunjuk pada penerapan
(aplikasi) yaitu pengambilan keputusan atas suatu pilihan atau kebijakan.
Masalah yang diperhatikan adalah "tindakan-tindakan atau bentuk-bentuk
organisasi apa yang baik dan tepat". Disini mengambil keputusan tentang
bagaimana menjawab pertanyaan tidak sama dengan menjawab pertanyaan yang
diajukan, karena hal ini akan menyangkut penerapan sebuah metode dan penggunaan
sebuah teori dalam kehidupan praktis.
Meskipun demikian, sejumlah pemikir lain seperti Virginia
Held mengajukan gagasan yang berbeda, mengatakan bahwa “adanya beragam teori
terpisah bagi beragam konteks terpisah layak kita terima“.[15]
Held dalam konteks ini memang tidak secara khusus membicarakan pendekatan
filsafat politik, tetapi berbicara tentang pendekatan studi etika atau filsafat
moral. Namun, pandangannya menarik dipertimbangkan mengingat, seperti yang
sudah diuraikan, filsafat politik berhubungan erat dengan studi tentang etika
atau filsafat moral. Salah satu argumentasi Held adalah bahwa usaha mencari
sebuah teori moral ilmiah tunggal yang benar untuk menjelaskan segala sesuatu
yang terjadi dalam bidang apa saja, merupakan suatu langkah keliru yang sangat
serius yang telah dilakukan oleh para ahli teori moral di masa lalu. Dengan ini
ia mengkritik pendekatan-pendekatan yang telah dilakukan antara lain oleh John
Rawls (A Theory of Justice), Imannuel Kant (Imperative Catagories)
dan juga penganut utilitarianisme (utility), yang dinilainya sebagai
telah mengajukan teori moral yang bersifat ideal. Menurut Held, semua pandangan
itu menyajikan teori tentang apa keadilan, hak moral dan kepentingan umum dalam
sebuah masyarakat yang ideal, tetapi dalam kenyataannya masyarakat yang kita
hadapi saat ini masih sangat tidak ideal, kita bahkan belum memiliki “komunitas
manusia bebas“ seperti yang dimaksudkan oleh berbagai teori ideal. Sebaliknya,
yang kita miliki hanya masyarakat aktual, yaitu masyarakat yang merupakan
produk dari peperangan, imperialisme, eksploitasi, rasisme, patriarki, dan pemaksaan kehendak oleh yang kuat kepada
yang dikuasi. Maka, Held menganjurkan agar kita berpegang pada teori moral yang
berhubungan dengan konteks spesifik, yaitu dengan situasi aktual kita. Berbeda
dengan pendekatan sistematis, yang berusaha mengembangkan teori moralitas
politik yang tunggal dan ideal, Held menyarankan dikembangkannya teori
moralitas bagi beragam konteks. Pendekatan semacam ini disebut Held sebagai
metode moralitas eksperimental.
Saya
berpendapat, pendekatan sebagian dan pendekatan sistematis menyajikan teknik
yang berbeda dan memberikan kemungkinan hasil yang berbeda dalam usaha kita
mengembangkan filsafat politik, namun kita tidak dapat begitu saja mengabaikan
pendekatan yang satu demi pendekatan yang lain. Pendekatan sebagian dapat
mendorong munculnya penemuan yang lebih mendalam dan kritis mengenai konsep
atau isu penting tertentu dalam filsafat politik dan akan membantu menjelaskan
relevansinya dengan situasi aktual yang kita hadapi, sementara pendekatan
sistematis memungkinkan lahirnya sintesis yang kreatif dari ide-ide besar dalam
teori filsafat politik. Hal yang lain adalah baik pendekatan sebagian maupun
pendekatan sistematis memerlukan kemampuan berspekulasi, berimaginasi,
sekaligus berdialog dengan ide-ide besar dalam sejarah pemikiran manusia dan
untuk pada akhirnya menghubungkannya dengan realitas kehidupan aktual.
B. Pendekatan
Pemecahan Masalah vs Pendekatan Kritis
(Problem Solving vs Critical Approach)
Pembedaan lain yang barangkali cukup penting dan dapat
membantu dalam memahami berbagai pandangan dan strategi dalam pendekatan studi
filsafat politik adalah pendekatan pemecahan masalah (problem solving
approach) dan pendekatan kritis (critical approach) seperti yang
diajukan oleh Robert Cox[16],
seorang ilmuwan terkemuka dalam studi hubungan internasional. Menurut Cox,
pendekatan pemecahan masalah adalah,
“menerima dunia seperti apa adanya, dengan keseluruhan
institusi dan hubungan kekuasaan dan sosial yang berlaku, tempat semuanya diorganisasi,
sebagai kerangka kerja pasti untuk menentukan tindakan. Tujuan umum pemecahan
masalah adalah untuk menjadikan berbagai institusi dan hubungan itu bekerja
secara lancar, dengan menangani secara efektif sumber masalah tertentu“
Maka,
pendekatan pemecahan masalah bukan saja menerima tetapi juga membantu
memperkuat paradigma pandangan politik yang dominan. Dengan pendekatan ini,
sistem ekonomi yang didasarkan pada paham kapitalisme atau sosialisme,
misalnya, akan diterima sebagai sesuatu yang dalam dirinya sendiri tanpa
cacat ; berbagai masalah yang timbul didalamnya hanya dilihat sebagai
masalah teknis atau managerial semata sehingga memungkinkan sistem itu bekerja
secara lebih efektif dan efisien. Begitu juga, sebuah sistem dari
kepemerintahan internasional (international governance) yang
berlandaskan pada kedaulatan negara, jika diterima sebagai “kenyataan“ juga
akan memungkinkan munculnya anggapan bahwa tidak realistik untuk mengharapkan
apalagi mengajukan perubahan ekstensif terhadap sistem itu.
Dalam kajian
ideologi berkembang apa yang dinamakan konsepsi netral (neutral conception)
tentang ideologi, yaitu ketika ideologi dikembangkan oleh berbagai penulis
dalam pengertian yang murni deskriptif ; orang berbicara tentang sistem
pemikiran, tentang sistem kepercayaan atau tentang praktek simbolis untuk
mempertahankan proyek politik atau tindakan sosial.[17]
Di Indonesia, karya kebanyakan ahli ideologi Pancasila dalam masa Orde Baru
mungkin memberikan contoh yang jelas mengenai bagaimana pendekatan semacam ini
dikembangkan.[18]
Tentu saja pendekatan semacam itu tidak sesuai dengan
cita rasa filsafat politik. Sifat dasar filsafat politik adalah kritis, dan teori kritis, sebagaimana dijelaskan
Robert Cox adalah,
berdiri terpisah dari tata dunia yang berlaku…(teori
kritis) tidak menerima begitu saja berbagai institusi dan hubungan sosial dan
kekuasaan, tetapi mempertanyakannya dengan memusatkan perhatian pada
asal-usulnya, pada bagaimana, dan apakah tata dunia itu berada pada proses
perubahan. Teori kritis diarahkan untuk menilai setiap kerangka kerja bagi
tindakan atau masalah yang oleh teori pemecahan masalah diambil sebagai
ukurannya.
Pendekatan kritis, menurut Cox,
juga ”diarahkan pada kompleksitas sosial dan politik sebagai keseluruhan
daripada pada bagian yang terpisah” (1986, p. 208). Teori yang berkembang
dalam filsafat politik karena itu juga mencerminkan kecenderungan untuk
menyajikan formula yang dapat dipergunakan dalam menjawab kompleksitas sosial,
politik dan ekonomi sebagai keseluruhan, dan bukan menangani bagian tertentu
dari isu sosial, politik atau ekonomi. Teori-teori filsafat politik yang
berkembang baik yang mewakili kubu utilitarianisme, persamaan liberal,
libertarianisme, marxisme hingga feminisme pada awalnya merupakan teori yang
radikal karena menentang kerangka berpikir
dan perilaku politik yang mapan, meskipun pada perkembangan selanjutnya
teori-teori itu bisa menjadi ortodoxi dan dogma. Ketika mahasiswa menerima
paradigma berpikir atau kumpulan teori tertentu dalam aliran filsafat politik
dan kemudian mempertahankan aliran teori itu atau bekerja didalamnya untuk memberi
pembenaran terhadap tata sosial politik tertentu, maka mahasiswa telah menjauh
dari pendekatan kritis ini dan mulai memeluk pendekatan pemecahan masalah.
C. Keterikatan
(Commitment) Vs Pengambilan Jarak (Detachment) dalam Filsafat Politik
Mahasiswa yang sedang mengerjakan filsafat politik sering
terdorong untuk menunjukkan keterikatannya terhadap sebuah teori dan berusaha
menerapkannya untuk menjawab atau menjelaskan berbagai masalah politik, ekonomi
atau sosial yang menarik perhatiannya. Kecenderungan ini muncul karena
pandangan bahwa dalam mengerjakan filsafat politik mahasiswa harus menunjukkan
komitmen secara politik. Dalam ilmu
politik, termasuk filsafat politik, kecenderungan semacam ini sering dianggap
negatif karena mengancam studi filsafat politik yang sungguh-sungguh (genuine),
dan mahasiswa perlu disarankan untuk selalu mengambil jarak terhadap seluruh
pandangan atau teori dalam filsafat politik.[19]
Ini berarti, mahasiswa harus dapat melepaskan diri dari hegemoni sebuah teori,
dan mencoba mencapai objektifitas
politik sebagai tujuan dalam mengembangkan filsafat politik, jika bukan sebagai
sesuatu yang memang hendak dicapai.
Memang tidak selalu mudah memisahkan preferensi pribadi
terhadap sebuah pandangan atau teori politik. Apalagi, apa yang dinamakan
”bebas nilai” dalam filsafat politik dan juga dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu
kemanusiaan sering dianggap sebagai ilusi. Mengambil jarak, karena itu, bukan berarti
mengesampingkan keyakinan pribadi atau nilai yang dianut, tetapi menyadari asumsi
nilai sebuah teori atau aliran filsafat politik, yaitu dengan mengungkapkan
secara terbuka asumsi nilai itu dalam mengembangkan argumen menurut sebuah teori
atau aliran filsafat politik. Ini adalah ungkapan lain tentang perlunya
bersikap kritis terhadap semua aliran teori, yaitu dengan memperlakukan nilai
yang mendasari setiap teori itu sebagai sesuatu yang juga harus diteliti.
Karena mempelajari filsafat politik berarti juga memahami
dan memberikan penilaian terhadap berbagai pemikiran para filsuf politik, maka
ini akan berhasil dilakukan jika orang memperhatikan konteks umum dari
pemikiran filsuf politik itu dan memperhatikan masalah yang dicoba
dipecahkanya. Dengan kata lain, adalah penting menghayati kondisi ketika para
filsuf politik itu menuliskan karyanya dan menghayati tujuan mereka dalam
menuliskan pemikirannya. Dalam situasi nyata, mahasiswa memang perlu
mengungkapkan “apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh John Stuart Mill“, misalnya, tetapi dalam
melakukan hal ini, mahasiswa juga perlu mempertimbangan interpretasi yang
berbeda dari sumber-sumber lain yang penting yang berhubungan dengan pandangan
utama John Stuart Mill.
Pilihan antara keterikatan (commitment) dan
pengambilan jarak (detachment) hanya menunjuk pada perilaku atau sikap
ilmuwan dalam menangani pokok masalah filsafat politik dan bukan pada keyakinan
filsofis yang dianut. Pendekatan dengan mengambil jarak barangkali dapat
dilakukan baik oleh mereka yang menganut paham relativisme maupun paham absolutisme
dalam ilmu pengetahuan.[20]
Orang tetap dapat menjadi absolutis atau relativis meskipun ia menunjukkan
keterikatan tertentu atau ia mengambil jarak dengan sebuah teori atau aliran
dalam rangka menjelaskan dan menangani masalah filsafat politik.
Memang tidak dapat dikatakan bahwa pendekatan keterikatan
selalu buruk dan tidak sesuai dengan cita rasa studi filsafat politik, sebab
kadangkala terjadi justru ketika seorang mahasiswa menunjukkan komitmennya terhadap
konflik politik tertentu dalam kehidupan politik maka ia berhasil mengungkapkan
kedalaman sisi lain dari karakter fenomena politik, dimana jika dilakukan
dengan mengambil jarak, hal semacam itu kecil kemungkinan akan diperoleh. Akan
tetapi, komitmen secara politik dapat membahayakan studi filsafat politik jika
ini kemudian meniadakan dorongan untuk mempertanyakan premis-premis nilai yang
dianut oleh mahasiswa sendiri. Akibatnya karya-karya filsafat politik hanya
menjadi alat propaganda dan polemik dan bukan sebagai sarana untuk menguji
secara kritis setiap pandangan intelektual dengan suatu kerangka moral dan
politik yang lebih luas.
CATATAN AKHIR
Peranan apa
yang dapat dimainkan oleh ilmuwan, termasuk mahasiswa, yang menekuni filsafat
politik baik dalam kehidupan akademik maupun dalam kehidupan masyarakat? Saya
telah mencoba menunjukkan bahwa pokok masalah filsafat berhubungan dengan
bidang yang sangat luas, ia berhubungan dengan disiplin ilmu lain seperti
etika, teori politik, ilmu politik, ilmu sosial dan ilmu ekonomi, maupun dengan
realitas faktual dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi itu. Dengan demikian,
filsafat politik mencoba menangani susunan organisasi masyarakat atau bentuk
kehidupan bersama yang baik, bebas dan adil. Pokok perhatian semacam ini
menyarankan bahwa mahasiswa harus ditantang untuk selalu berpikir alternatif
dan imaginatif tentang bentuk dan susunan organisasi kehidupan masyarakat bersama.
Disamping itu, meskipun mahasiswa filsafat politik juga harus mempertimbangkan
berbagai penemuan aktual dari disiplin ilmu yang lain, filsafat politik tidak
dapat diarahkan untuk menangani fakta atau peristiwa politik politik yang
berlangsung sehari-hari.
Dalam
menekuni filsafat politik, mahasiswa dianjurkan untuk memberikan perhatian
terhadap berbagai topik yang dimunculkan, misalnya, oleh media massa. Namun,
hal itu tidak berarti bahwa mereka harus tenggelam dalam kesibukkan memberikan
kritik terhadap berbagai peristiwa yang terjadi sehari-hari. Perhatian filsafat
politik, sebaliknya, harus diarahkan pada tema sosial, politik dan ekonomi yang
lebih mendasar dan bukan kejadian atau peristiwa sehari-hari. Sebab, jika
mahasiswa selalu memberi komentar terhadap kejadian yang muncul kapanpun dan
dimanapun, filsafat politik sebagai disiplin ilmu akan dengan sendirinya
lenyap. Sebaliknya mahasiswa harus juga mempertimbangkan berbagai temuan yang
dihasilkan oleh studi ilmu politik dan teori politik (dan sebenarnya juga oleh
ilmu ekonomi, terutama teori-teori ekonomi politik dan teori sosial pada
umumnya) dalam usaha mereka berfilsafat. Belajar filsafat politik adalah
memupuk kemampuan untuk mengembangkan argumen yang menolak atau membenarkan
institusi sosial, politik dan ekonomi, baik yang bersifat nyata (real)
maupun yang dibayangkan (imagined). Jelas bahwa studi filsafat politik
tidak dapat dipisahkan dari perkembangan dunia empiris dan interpretasi
kebudayaan tertentu, dan harus memanfaatkan semua perkembangan itu untuk
menatanya kembali dengan membentuk saling hubungan antar disiplin ilmu,
mempertimbangkan konteks yang lebih umum dan menyajikannya dalam bentuk yang
sistematis.
Karena itu,
peran mahasiswa yang menekuni filsafat politik adalah untuk mengembangkan
kedalaman teori dan untuk memberikan sumbangan pemikiran tentang bentuk yang
lebih ideal dari organisasi masyarakat atau kehidupan bersama. Disini mahasiswa
hendaknya didorong untuk tidak hanya mengulang atau menelan begitu saja
berbagai pendirian dan teori tentang bentuk kehidupan masyarakat, nilai, arah dan
tujuannya, apalagi hanya memberikan komentar instan dan terbatas terhadap
kebijaksanaan sosial, politik dan ekonomi. Sifat studi filsafat politik adalah
kritis, dan meskipun mahasiswa dapat mendekati masalahnya baik melalui
pendekatan sebagian maupun melalui pendekatan sistematis, mahasiswa juga perlu
mengembangkan sikap yang lebih mengambil jarak, yaitu mengembangkan skeptisisme
yang keras dan tidak diskriminatif terhadap teori-teori atau pendirian politik
dalam usaha mereka menangani pokok masalah filsafat politik.
Sebagian
tambahan, keahlian dalam filsafat politik juga tidak sepantasnya hanya
diabdikan kepada pemerintah atau agen kelompok politik, atau partai politik,
apalagi dimaksudkan sebagai pelayan atau juru bicara mereka. Sebagaimana
dikemukakan Hedley Bull bahwa karena tanggungjawab kaum akademisi adalah untuk
“membicarakan kebenaran dan menguak kebohongan“ (to speak the truth and
expose lies)[21], maka
mereka perlu memahami pola hubungan yang ideal antara tugas dirinya dengan
pemerintah dan agen kelompok politik. Hubungan yang terlalu jauh akan
mengurangi peluang yang diperlukan dalam memberikan saling masukan oleh karena
bagaimanapun pertukaran gagasan antara kaum akademisi, termasuk ahli filsafat
politik, dengan pemerintah dan berbagai agen kelompok politik adalah penting.
Hubungan yang terlalu dekat, sebaliknya, juga kurang baik, karena seperti dalam
kasus perkembangan ideologi Pancasila selama masa Orde Baru di Indonesia,
ketika institusi pendidikan menjadi alat pemerintah untuk menangani program
penataran P4 seperti BP7, maka yang dihasilkan adalah lingkungan akademis yang
cenderung mengembangkan kesimbukan non akademis. Karena itu, para mahasiswa dan
ahli filsafat politik tetap dapat berhubungan dengan pemerintah atau agen
kelompok politik manapun, namun mereka harus tetap mengambil jarak dengan kekuasaan
pemerintah, sebab hanya dengan inilah dapat diharapkan munculnya sumbangan
intelektual yang lebih jelas dan hanya dengan ini pula agaknya integritas
filsafat politik sebagai sebuah cabang ilmu filsafat dapat ditegakkan. ***
References
Beck,
Robert N. ed., Perspective in Social Philosophy; Reading in Philosophic
Sources of Social Thought (Holt, Rinehart and Winston, Inc. New York) 1967
Bull,
Hedley, “International Relations as an Academic Pursuit”, in Australian
Outlook, Vol. 26, 3 December 1972
Cahn,
Steven M. Political Philosophy, The Essential Texts, Oxford University
Press, New York, 2005
Cox,
Robert W., ’’Social Forces, States and World Order : Beyond
International Relations Theory “ in Robert O. Keohane (ed.), NeoRealism and its Critics, New York,
Columbia University Press, 1986
Brown,
Alan, Modern Political Philosophy. Penguin Books, Middlesex, 1986
Ebenstein,
William, Modern Political Thought: The Great Issues, Rinehart &
Company, Inc. New York, 1959
Flew,
Antony, A Dictionary of Philosophy, Pan Books, London, 1981
Goodin,
Robert E. and Philip Pettit (eds.), A Companion to Contemporary Political
Philosophy, Blackwell, Victoria, 2004
Goddin,
Robert E. and Philip Pettit (eds.), Contemporary Political Philosophy: An
Anthology, Blackwell Publisher Ltd, Oxford, 1997
Held,
Virginia, Etika Moral: Pembenaran Tindakan Sosial, Penterjemah Drs. Y.
Ardy Handoko, Erlangga, Jakarta, 1989
King,
J. Charles and James A. McGilvray, Political and Social Philosophy:
Traditional and Contemporary Readings, McGraw-Hill, New York, 1973
Kymlicka,
Will, Contemporary Political Philosophy: An Introduction. Oxford
University Press, Oxford, 1990
Matravers,
Derek and Jon Pike, Debates in Contemporary Political Philosophy An
Anthology, Routledge, London, 2003
McBride,
William L., Social and Political Philosophy, Paragon House, New York,
1994
Murray,
A.R.M., An Introduction to Political Philosophy, Cohen and West, London,
1953
Stewart,
Robert M., Readings in Social and Political Philosophy, Oxford
University Press, New York, 1996.
Thompson,
John B., Studies in the Theory of Ideology, University of California
Press, Berkeley, 1984
Wolf,
Jonathan, An Introduction to Political Philosophy, Revised Edition,
Oxford University Press, Oxford, 2006
Wolin,
Sheldon S., Politics and Vision, Expanded Edition. New Jersey, Princeton
University Press, 2004
Nozick,
Robert, Anarchy, State and Utopia, Basic Books, New York, 1974
[1] Mahasiswa sering bertanya apakah perbedaan antara
filsafat sosial dan filsafat politik. Dalam diskusi ini istilah filsafat
politik, filsafat sosial, atau filsafat sosial politik akan dipergunakan secara
bergantian dan menunjuk arti yang sama. Buku Robert N. Beck menyinggung sedikit
masalah ini dalam catatan kaki no. 1 dalam bukunya: Lihat Robert N. Beck ed., Perspective
in Social Philosophy; Reading in Philosophic Sources of Social Thought (Holt,
Rinehart and Winston, Inc. New York) 1967, p. 1; William McBride juga
mengatakan bahwa membedakan filsafat politik dengan filsafat sosial sebenarnya
tidak perlu dan merupakan usaha yang terlalu di buat-buat, lihat McBride,
William L., Social and Political Philosophy (Paragon House, New York)
1994, p. 2
[2] Lihat, Alan
Brown, Modern Political Philosophy (Penguin Books, Middlesex) 1986, p.
11
[3] Dalam kata-kata
Alan Brown: “It was obvious that there
was a variety of possible ends, values or ideals which were relevant to how a
man ought to live and act and how a community ought to be organized. It was
less obvious, on reflection, which of these values, if any, was correct” (ibid.)
[4] Dua pertanyaan
ini menjadi perdebatan penting dalam studi filsafat politik, yaitu antara paham
teoleogi dan deontologi. Pertanyaannya adalah mana yang lebih utama, apakah
prinsip kebaikan harus mengalah pada prinsip ketepatan, ataukah prinsip
ketetapan harus diletakkan di bawah prinsip kebaikan. Sebuah buku yang banyak
didiskusikan yang mengembangkan filsafat politik dengan pendekatan deontologis,
jadi berbeda dengan tradisi utilitarianism, atau liberalisme yang dikembangkan
oleh Immanuel Kant, dan John Stuart Mill dapat dilihat, misalnya, John Rawls, Political
Liberalism, With A New Introduction and the Reply to Habermas (Columbia
University Press, New York) 1993. Untuk diskusi mengenai teori kebaikan dan
teori kebenaran lihat misalnya Richard B. Brand, Theory of the Good and The
Right (Oxford University Press, Oxford), 1979, lihat juga Pettit Philip,
“The Contribution of Analytical Philosophy”, in A Companion to Contemporary
Political Philosophy, Robert E. Goodin and Philip Pettit (eds) (Blackwell,
Victoria), 2004.
[5] Uraian ringkas tentang hal ini
lihat Antony Flew, “Political Philosophy, in A Dictionary of Philosophy (Pan Books, London) 1981, pp. 279-281
[6] Dikutip dari Kymlicka, 1990: Lihat
juga Robert Nozick, Anarchy, State and Utopia (Basic Books, New York)
1974, p. 6
[7] Lihat, Jane Masbridge dan Susan
Moller Okin, “Feminism”, dalam A Companion to Contemporary Political
Philosophy, Robert E. Goodin and Philip Pettit Eds. (Blackwell, Victoria),
2004, pp. 269-290
[8] Bandingkan
dengan diskusi tentang Major Ideologies yang mencakup tema-tema khusus
seperti Anarkhism, Conservatism, Feminism, Liberalism, Marxisme, dan
Socialism dalam Goodin, Robert E.
and Philip Pettit (eds.), Ibid.
[9] Contoh teks
yang memusatkan perhatian pada tokoh lihat, J. Charles King and James A.
McGilvray, Political and Social Philosophy: Traditional and Contemporary
Readings (McGraw-Hill, New York) 1973; Steven M. Cahn, Political
Philosophy, The Essential Texts
(Oxford University Press, New York) 2005
[10] Menurut Dworkin, semua teori
politik sesungguhnya memiliki landasan nilai yang sama yaitu persamaan (equality),
jadi semuanya merupakan teori egalitarian. Dengan teori egalitarian yang
dimaksudkan adalah bukan teori yang mendukung distribusi pendapat secara
merata, tetapi merupakan gagasan untuk memperlakukan orang secara sama.
Misalnya, kaum kiri mempercayai persamaan pendapatan atau kesejahteraan sebagai
prakondisi untuk memperlakukan orang secara sama, dan kaum kanan percaya pada
hak individu yang sama atas pemilikan dan pekerjaan juga merupakan prakondisi
untuk memperlakukan orang secara sama. (Untuk pembahasan tentang masalah ini
lihat Will Kymlicka, 1990, op cit, 4; lihat juga Ronald Dworkin, Taking
Rights Seriously. (Duckworth, London) 1977, p. 179-83; Ronald Dworkin,
Law’s Empire (Harvard University Press, London) 1986, pp. 296-301 ; Ronald
Dworkin, “What is Equality?; Part III: The Place of Liberty”, Iowa Law
Review, 1987, 73/1, pp. 7-8; lihat juga Nagel T., Mortal Questions
(Cambridge University Press, Cambridge), 1979, p. 111)
[11] Buku Robert E.
Goodin dan Philip Pettit antara lain juga mencantumkan diskusi yang mendalam
dari masing-masing kontribusi penulis
yang mewakili berbagai latar belakang disiplin ilmu dalam kaitannya
dengan studi filsafat politik, mencakup filsafat
analitik, filsafat kontinental, sejarah, sosiologi, ekonomi, ilmu
politik dan studi hukum. Lihat, A Companion to Contemporary Political
Philosophy, Robert E. Goodin and Philip Pettit (eds) (Blackwell, Victoria),
2004
[12] Bandingkan,
silabus kuliah filsafat politik Christopher Bertram, 199l (dalam internet);
lihat pula sejumlah buku filsafat sosial politik dalam bahasa Inggris seperti
Robert E Goddin and Philip Pettit, (eds) Contemporary Political Philosophy:
An Anthology (Blackwell Publisher Ltd, Oxford) 1997; Robert M. Stewart, Readings
in Social and Political Philosophy (Oxford University Press, New York)
1996; lihat juga Derek Matravers and Jon Pike, Debates in Contemporary
Political Philosophy An Anthology (Routledge, London) 2003
[13] Menurut Robert
N. Beck, aktivitas spekulatif, merupakan pengembangan visi yang
komprehensif tentang alam dengan merujuk pada penemuan ilmu pengetahuan lain
termasuk seni tetapi dengan mengatasi disiplin ilmu pengetahuan itu; aktivitas deskriptif atau
fenomenologi adalah mencoba memberikan
deskripsi yang lengkap dan tidak bias tentang pengalaman; dan aktivitas normatif
atau evaluasi adalah dengan mencoba memberikan kritik dengan ukuran-ukuran
untuk memberikan penilaian dan petunjuk terhadap perilaku sosial dan individu.
Sementara, mahasiswa dapat memperlakukan keempat pendekatan itu sebagai bagian
yang saling berhubungan dan membentuk aktivitas kefilsafatan yang inklusif,
masing-masing juga dapat dipilih sebagai aktivitas kefilsafatan yang berdiri
sendiri. Lihat dalam Robert N. Beck, ed.,
Perspective in Social Philosophy; Reading in Philosophic Sources of
Social Thought (Holt, Rinehart and Winston, Inc. New York) 1967, p. 2
[14] Pengertian
teori dalam filsafat politik barangkali dapat didefinisikan sebagai kumpulan
proposisi umum yang dikembangkan mengenai masyarakat politik yang baik, bebas
dan adil
[15] Virginia Held, Etika Moral: Pembenaran Tindakan Sosial,
Penterjemah Drs. Y. Ardy Handoko, Erlangga, Jakarta, 1989, p. 4
[16] Cox, Robert
W., ’’Social Forces, States and World Order : Beyond International
Relations Theory “ in Robert O. Keohane (ed.), NeoRealism and its Critics, New York,
Columbia University Press, 1986
[17] Untuk uraian
mengenai hal ini lihat John B. Thompson, Studies in the Theory of Ideology,
University of California Press, Berkeley, 1984, p. 4
[18] Namun,
tulisan-tulisan tentang ideologi Pancasila yang menggunakan pendekatan
pemecahan masalah tidak hanya ditemui dalam masa Orde Baru, meskipun mungkin
era orde Baru Indonesia memberikan lahan yang subur untuk perkembangan tulisan
tentang ideologi Pancasila dengan pendekatan pemecahan masalah dan
kecenderungan kearah perfeksionis.
[19] Pendapat Hedley
Bull, seorang pakar studi hubungan Internasional dalam “International Relations as an Academic
Pursuit”, Australian Outlook, Vol. 26, 3 December 1972
[20] Absolutisme
pada intinya adalah paham yang mempercayai ada realitas absolut yaitu realitas
yang berdiri sendiri terlepas dari pengetahuan dan pengalaman manusia. Fungsi
pengetahuan, menurut kaum absolutis adalah merefleksikan realitas objektif
secara pasif yaitu sebagai ‘’benda dalam dirinya sendiri’’ (things in
themselves). Relativisme, sebaliknya, mengatakan hanya nilai yang relatif
yang dapat dikenali oleh pengetahuan manusia, karena manusialah yang membentuk
dunianya sendiri dengan pengetahuan yang ada dalam diri manusia. (lihat dalam
William Ebenstein, Modern Political Thought: The Great Issues, Rinehart
& Company, Inc. New York, 1959, p. 6-7)
[21] Bull, op
cit., mengutip pendapat Noam Chomsky
dalam American Power and the New Mandarin, Vintage Books, 1967, p. 325
It is nice post and i found some interesting information on this blogchildcare hills area
BalasHapusArtikel yang menarik... semoga terus berkembang... Saya ingin berbagi wawancara dengan Niccolo Machiavelli (imajiner) di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2018/02/wawancara-dengan-niccolo.html
BalasHapus