Sabtu, 09 Juni 2012

ASAS FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH (hukum Agraria)


ASAS FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH

A.HASIL DISKUSI
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu “atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk  yaitu
1. hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP).
2. hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak menyewa atas tanah pertanian.
Dari berbagai macam hak atas tanah tersebut, hak milik merupakan satu-satunya hak primer yang mempunyai kedudukan paling kuat dibandingkan dengan hak-hak yang lainnya. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA yang berbunyi: “Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuh, yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.”
Pernyataan di atas mengandung pengertian betapa penting dan berharganya menguasai hak atas tanah dengan title “Hak Milik” yang secara hukum memiliki kedudukan terkuat dan terpenuh sehingga pemilik hak dapat mempertahankan haknya terhadap siapapun. Namun demikian bukan berarti bahwa sifat terkuat dan terpenuh yang melekat pada hak milik menjadikan hak ini sebagai hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak dapat diganggu gugat, karena dalam situasi dan kondisi tertentu hak milik ini dapat pula dibatasi. Pembatasan yang paling nyata diatur dalam ketentuan UUPA antara lain terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut:
- Pasal 6 : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi social ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya.
- Pasal 7: Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.
- Pasal 17 : Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
- Pasal 18 : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
- Pasal 21 ayat (1) : Hanya Warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
            Didalam pasal pasal tersebut terdapat asas fungsi sosial atas tanah yaitu asas yang menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak hak orang lain dan kepentingan umum,serta keagamaan.Sehingga tidak diperbolehkan jika tanah digunakan sebagai kepentingan pribadi yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUPA mengandung beberapa prinsip keutamaan antara lain :
a.       Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-hak atas tanah menurut prinsip Hukum Tanah Nasional. Dalam Konsep Hukum Tanah Nasional memiliki sifat komunalistik religius, yang mengatakan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa, bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
b.      Tanah yang dihaki seseorang tidak hanya mempunyai fungsi bagi yang mempunyai hak itu saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan tidak hanya kepentingan individu saja yang dijadikan pedoman, tetapi juga harus diingat dan diperhatikan kepentingan masyarakat. Harus diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat.
c.       Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanah, sifatnya dan tujuan pemberian haknya. Hal tersebut dimaksudkan agar tanah harus dapat dipelihara dengan baik dan dijaga kualitas kesuburan serta kondisi tanah sehingga kemanfaatan tanahnya dinikmati tidak hanya oleh pemilik hak atas tanah saja tetapi juga masyarakat lainya. Oleh karena itu kewajiban memelihara tanah itu tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan juga menjadi beban bagi setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah.

            UUPA menjamin hak milik pribadi atas tanah tersebut tetapi penggunaannya yang bersifat untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat.Sehingga timbul keseimbangan,kemakmuran,keadilan,kesejahteraan bagi masyarakat maupun pribadi yang memiliki tanah.Jadi pemilik tanah tidak akan kehilangan haknya dalam memiliki tanah akan tetapi dalam pelaksanaan untuk kepentingan umum maka haknya akan berpindah untuk kepentingan umum.

B. IMPLEMENTASI ASAS FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH TERHADAP WARGA NEGARA (KEWARGANEGARAAN)

            Tanah merupakan salah satu bentuk karunia yang diberikan Tuhan pada Negara kita. Untuk itulah supaya tidak timbul masalah, pemerintah berusaha mengaturnya dengan baik. Keadaan Negara kita sebagai Negara berkembang menuntut kita melakukan banyak perbaikan dan pembangunan. Banyaknya manusia yang memerlukan tanah, tetapi tidak bertambahnya jumlah tanah yang ada menjadi salah satu inti permasalahannya. Mau tidak mau untuk menjalankan pembangunan, diadakan proses pengadaan tanah yang asalnya dari tanah yang sudah dihaki oleh rakyat. Proses tersebut cukup memakan waktu yang lama, oleh karena salah satu pihak merasa adanya ketidak-adilan. Proses yang cukup lama ini, otomatis membuat jalannya pembangunan menjadi tersendat. Maka itu dengan memperkenalkan pada masyarakat akan pentingnya fungsi sosial yang dipunyai oleh seluruh hak-hak atas tanah kiranya dapat membantu mengubah cara berpikir individual masyarakat. Dengan prinsip ini kepentingan pribadi atas tanah tidak dibiarkan merugikan kepentingan banyak orang (umum). Apalagi ditambah dengan peraturan baru yaitu PERPRES Nomor 36 Tahun 2005 dan PERPRES Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Begitu juga dengan pihak pemerintah, harus memperhatikan jumlah kerugian yang wajar, layak dan adil untuk pemegang tanah. Dengan begitu tujuan UUPA untuk mencari keseimbangan antara dua kepentingan rakyat (pembangunan) dan kepentingan individu dapat segera terwujud dengan baik.
            Salah satu contoh bentuk implementasi dari asas fungsi sosial hak atas tanah adalah Sebidang tanah milik salah satu warga yang mana didepan halaman rumahnya terkena pelebaran jalan, jadi pemilik tanah harus merelakan sebagian tanahnya untuk diberikan guna pelebaran jalan untuk kepentingan umum. Namun dari tanah yang direlakan untuk digunakan pelebaran jalan tersebut pemilik tanah mendapatkan uang ganti rugi dari pemerintah. Dari contoh tersebut seharusnya pemilik tanah memiliki kesadaran menerapkan asas fungsi sosial atas tanah bagi kepentingan umum.
Contoh kasus  Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen aturan kerjanya Keppres No.55/1993, akan tetapi dalam pelaksanaan pembebasan tanahnya tidak melalui/memakai proses pelaksanaan pengadaan tanah tidak melalui panitia pengadaan tanah sebagaimana yang diatur dalam peraturan yang berlaku yaitu Keppres No.55/1993, tetapi melalui tim yang dibentuk Pemerintah Kotamadya Semarang, Panitia Pembebasan Tanah dan cara penetapan ganti ruginya tidak memakai dasar NJOP. Besarnya ganti rugi uang yang diberikan kepada warga yang tanahnya terkepras sebesar Rp.20.000,-/m2, dengan perincian Rp.15.000,- sebagai uang ganti rugi dan Rp.5.000,- sebagai uang tali asih, ditambah tanah pengganti berlokasi di Jatisari. Pelaksanaan Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen sampai sekarang belum selesai karena terbatasnya dana yang tersedia di Pemkot melalui APBD dan masih adanya masyarakat yang belum mengambil ganti rugi sehingga tanahnya tidak dapat dibebaskan sehingga Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Jalan Tol Semarang-Solo adalah jalan tol di provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Jalan Tol Semarang-Solo menghubungkan kota Semarang dengan Surakarta. Tol ini mulai dibangun tahun 2009 oleh Jasa Marga dan diperkirakan akan selesai tahun 2012. Panjang jalan tol ini adalah 75,7 km. Adapun jalan tol ini terbagi menjadi lima seksi:
Pembangunan Tol Semarang-Solo membutuhkan biaya investasi sebesar 6,1 triliun rupiah, biaya konstruksi 2,4 triliun rupiah, dan biaya pengadaan tanah 800 miliar rupiah (inilah.com, 2009). Konstruksi tol seksi I Semarang (Tembalang)-Ungaran dimulai pada awal tahun 2009. Ditargetkan tol Semarang-Ungaran dapat diselesaikan dalam 13 bulan konstruksi. Tol seksi II Ungaran-Bawen akan mulai dibangun pada November 2009 (ANTARA, 2009).
Walaupun telah didukung penuh oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, namun pengerjaan jalan tol tersebut tidak menjamin menemui kendala, bahkan terkesan proyek jalan tol tersebut terindikasi korupsi serta perbedaan rencana antar berbagai pihak mengenai proyek tersebut. Menurut berita ANTARA 14 Juni 2010, pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo rute Kota Semarang hingga Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, terancam tidak selesai sesuai target waktu yang ditentukan. Indikasi itu terlihat dari permohonan kontraktor yang meminta perpanjangan waktu pengerjaan lima bulan lagi terhitung sejak Juni 2010. Banyak berbagai faktor penghambat proyek tersebut selesai tepat waktu, adapun faktor-faktor tersebut adalah pembebasan dan pembayaran ganti rugi lahan, masih ada bangunan milik penduduk yang belum dibongkar, musim hujan yang masih terjadi.
Permasalahan yang lebih besar dihadapi adalah adanya kasus di Desa Jatirunggo, Kabupaten Semarang yang terindikasi adanya korupsi serta negosiasi fiktif harga tanah antara warga desa dengan Tim Pengadaan Tanah. Kasus yang memprihatinkan di Desa Jatirunggo adalah pada tanggal 30 April 2010 tabungan senilai Rp 13,2 miliar yang disimpan di Bank Mandiri milik warga Desa Jatirunggo hilang. Uang tersebut merupakan pembayaran atas tanah warga yang dibeli untuk mengganti lahan PT. Perhutani yang terkena proyek Jalan tol Semarang-Solo.
Pengadaan tanah di Desa Jatirunggo dinailai merugukan keuangan negara sekitar Rp 8,1 miliar karena pemerintah membayar penggantian lahan Rp 50.000 per meter persegi namun warga hanya menerima Rp 20.000 per meter persegi. Kasus transaksi pemindahbukuan rekening tersebut dinilai Komisi D DPRD Jateng berpindah ke rekening diduga milik broker. Kejadian tersebut semakin tidak wajar karena pihak bank tidak mengklarifikasi pemindahbukuan itu ke warga. Kejati Jateng juga menemukan bukti awal adanya rekayasa musyawarah penentuan harga tanah serta menemukan bukti keterlibatan Agus Sekmaniharto sebagai broker.
Jika dilihat dari permasalahan pembangunan proyek Jalan Tol Solo-Semarang tersebut menunjukkan bahwa lemahnya birokrasi serta semakin besarnya peluang melakukan korupsi di daerah. Rencana pembanguangan yang simpang siur arahnya tersebut menunjukkan bahwa koordianasi antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota lemah. Lemahnya koordinasi ini terlihat dari keinginan dari Kota Salatiga untuk meminta interchange berada di pusat Salatiga, padahal interchange di pusat Kota Salatiga tidak ada dalam rencana awal. Hal ini menunjukkan bahwa konsistensi pemerintah dalam menjalankan proyek sangat rendah.
faktor dominan penghambat pelaksanaan pengadaan lahan Jalan Tol Ruas Semarang-Solo Seksi Semarang-Ungaran adalah nilai lahan dan sumber pembiayaan. Faktor nilai lahan disebabkan oleh perbedaan dasar pemikiran antara pemilik lahan dengan panitia dalam penentuan besarnya ganti rugi. Sedangkan faktor sumber pembiayaan disebabkan karena swasta enggan untuk mencairkan dana pengadaan lahan. Adanya risiko pengadaan lahan yaitu tidak adanya kepastian mengenai besaran biaya yang harus dibayar investor dan kepastian waktu kapan lahan dapat dibebaskan menyebabkan investor tidak dapat melanjutkan investasinya karena lahan belum bebas.
Kasus inidikasi korupsi yang berupa perbedaan antara harga tanah yang disepakati negara serta jumlah yang diterima warga menunjukkan bahwa Tim Pengadaan Tanah yang dibentuk pemerintah tidak memiliki intergritas yang baik. Tim tersebut juga diniliai tidak bekerja secara profesional karena ditemukannya kasus negosiasi harga fiktif. Belum lagi adanya peran dari bank yang memindahbukukan renening warga kepada salah satu rekening yang diduga broker semakin menunjukkan bahwa kinerja Tim rendah.
Kasus yang melibatkan perbankan juga memberi sinyal negatif bagi pemberantasan korupsi, padahal perbankan dituntut untuk hati-hati serta profesional dalam menjalankan bisnisnya. Peranperbankan dalam dugaan korupsi semakin meyakinkan bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia telah berjalan sistematis. Kejadian ini semakin menguatkan kegagalan pemerintah dalam membagun fasilitas publik yang bersih dari korupsi dan profesional dalam menjalankan proyek publik.
http://jagalan.blog.uns.ac.id/kegagalan-pemerintah-dalam-proyek-pembangunan-jalan-tol-solo-%E2%80%93-semarang/BimoSatrioWicaksono



2 komentar:

  1. mantap buat wawasan masyarakat

    BalasHapus
  2. keren..kunjungi juga yaw http://law.uii.ac.id/berita-hukum/tambah-baru/pshk-selenggarakan-fgd-penyiapan-ruu-pertanahan.html

    BalasHapus