ASAS
FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH
A.HASIL DISKUSI
Tanah
merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik
dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata
pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan,
perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim
dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal.
Dalam
ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan
bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala
aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam
pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan
dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu “atas dasar hak menguasai dari negara sebagai
yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan
bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta
badan-badan hukum.
Konsep
hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional membagi hak-hak
atas tanah dalam dua bentuk yaitu
1. hak-hak atas tanah yang bersifat
primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara
langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat
dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya seperti Hak Milik (HM),
Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP).
2. hak-hak atas tanah yang bersifat
sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara seperti hak gadai,
hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak menyewa atas tanah pertanian.
Dari
berbagai macam hak atas tanah tersebut, hak milik merupakan satu-satunya hak
primer yang mempunyai kedudukan paling kuat dibandingkan dengan hak-hak yang
lainnya. Hal ini dipertegas dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA yang
berbunyi: “Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat, terpenuh, yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.”
Pernyataan
di atas mengandung pengertian betapa penting dan berharganya menguasai hak atas
tanah dengan title “Hak Milik” yang secara hukum memiliki kedudukan terkuat dan
terpenuh sehingga pemilik hak dapat mempertahankan haknya terhadap siapapun.
Namun demikian bukan berarti bahwa sifat terkuat dan terpenuh yang melekat pada
hak milik menjadikan hak ini sebagai hak yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak
dapat diganggu gugat, karena dalam situasi dan kondisi tertentu hak milik ini
dapat pula dibatasi. Pembatasan yang paling nyata diatur dalam ketentuan UUPA
antara lain terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut:
- Pasal 6 : Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak
mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk kepentingan
pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat karena
sesuai dengan asas fungsi social ini hak milik dapat hapus jika kepentingan
umum menghendakinya.
- Pasal 7: Untuk tidak merugikan
kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan.
- Pasal 17 : Dengan mengingat
ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2
ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan
sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
- Pasal 18 : Untuk kepentingan umum,
termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat,
hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan
menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
- Pasal 21 ayat (1) : Hanya Warga
Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
Didalam
pasal pasal tersebut terdapat asas fungsi sosial atas tanah yaitu asas yang
menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan hak hak orang
lain dan kepentingan umum,serta keagamaan.Sehingga tidak diperbolehkan jika
tanah digunakan sebagai kepentingan pribadi yang menimbulkan kerugian bagi
masyarakat.
Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana dimaksud
Pasal 6 UUPA mengandung beberapa prinsip keutamaan antara lain :
a. Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak
atas tanah yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan
hak-hak atas tanah menurut prinsip Hukum Tanah Nasional. Dalam Konsep Hukum
Tanah Nasional memiliki sifat komunalistik religius, yang mengatakan bahwa
seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa,
adalah bumi, air dan ruang angkasa, bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan
nasional.
b. Tanah yang dihaki seseorang tidak hanya mempunyai
fungsi bagi yang mempunyai hak itu saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia
seluruhnya. Sebagai konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan
tidak hanya kepentingan individu saja yang dijadikan pedoman, tetapi juga harus
diingat dan diperhatikan kepentingan masyarakat. Harus diusahakan adanya
keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat.
c. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada
yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan
keadaannya, artinya keadaan tanah, sifatnya dan tujuan pemberian haknya. Hal
tersebut dimaksudkan agar tanah harus dapat dipelihara dengan baik dan dijaga
kualitas kesuburan serta kondisi tanah sehingga kemanfaatan tanahnya dinikmati
tidak hanya oleh pemilik hak atas tanah saja tetapi juga masyarakat lainya.
Oleh karena itu kewajiban memelihara tanah itu tidak saja dibebankan kepada
pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan juga menjadi beban
bagi setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan
hukum dengan tanah.
UUPA
menjamin hak milik pribadi atas tanah tersebut tetapi penggunaannya yang
bersifat untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan masyarakat.Sehingga timbul
keseimbangan,kemakmuran,keadilan,kesejahteraan bagi masyarakat maupun pribadi
yang memiliki tanah.Jadi pemilik tanah tidak akan kehilangan haknya dalam
memiliki tanah akan tetapi dalam pelaksanaan untuk kepentingan umum maka haknya
akan berpindah untuk kepentingan umum.
B. IMPLEMENTASI ASAS FUNGSI SOSIAL
HAK ATAS TANAH TERHADAP WARGA NEGARA (KEWARGANEGARAAN)
Tanah
merupakan salah satu bentuk karunia yang diberikan Tuhan pada Negara kita.
Untuk itulah supaya tidak timbul masalah, pemerintah berusaha mengaturnya
dengan baik. Keadaan Negara kita sebagai Negara berkembang menuntut kita
melakukan banyak perbaikan dan pembangunan. Banyaknya manusia yang memerlukan
tanah, tetapi tidak bertambahnya jumlah tanah yang ada menjadi salah satu inti
permasalahannya. Mau tidak mau untuk menjalankan pembangunan, diadakan proses
pengadaan tanah yang asalnya dari tanah yang sudah dihaki oleh rakyat. Proses
tersebut cukup memakan waktu yang lama, oleh karena salah satu pihak merasa
adanya ketidak-adilan. Proses yang cukup lama ini, otomatis membuat jalannya
pembangunan menjadi tersendat. Maka itu dengan memperkenalkan pada masyarakat
akan pentingnya fungsi sosial yang dipunyai oleh seluruh hak-hak atas tanah
kiranya dapat membantu mengubah cara berpikir individual masyarakat. Dengan
prinsip ini kepentingan pribadi atas tanah tidak dibiarkan merugikan
kepentingan banyak orang (umum). Apalagi ditambah dengan peraturan baru yaitu
PERPRES Nomor 36 Tahun 2005 dan PERPRES Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan
tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Begitu juga dengan
pihak pemerintah, harus memperhatikan jumlah kerugian yang wajar, layak dan
adil untuk pemegang tanah. Dengan begitu tujuan UUPA untuk mencari keseimbangan
antara dua kepentingan rakyat (pembangunan) dan kepentingan individu dapat
segera terwujud dengan baik.
Salah satu contoh
bentuk implementasi dari asas fungsi sosial hak atas tanah adalah Sebidang
tanah milik salah satu warga yang mana didepan halaman rumahnya terkena
pelebaran jalan, jadi pemilik tanah harus merelakan sebagian tanahnya untuk
diberikan guna pelebaran jalan untuk kepentingan umum. Namun dari tanah yang
direlakan untuk digunakan pelebaran jalan tersebut pemilik tanah mendapatkan
uang ganti rugi dari pemerintah. Dari contoh tersebut seharusnya pemilik tanah
memiliki kesadaran menerapkan asas fungsi sosial atas tanah bagi kepentingan
umum.
Contoh kasus Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen aturan kerjanya
Keppres No.55/1993, akan tetapi dalam pelaksanaan pembebasan tanahnya tidak
melalui/memakai proses pelaksanaan pengadaan tanah tidak melalui panitia
pengadaan tanah sebagaimana yang diatur dalam peraturan yang berlaku yaitu
Keppres No.55/1993, tetapi melalui tim yang dibentuk Pemerintah Kotamadya
Semarang, Panitia Pembebasan Tanah dan cara penetapan ganti ruginya tidak
memakai dasar NJOP. Besarnya ganti rugi uang yang diberikan kepada warga yang
tanahnya terkepras sebesar Rp.20.000,-/m2,
dengan perincian Rp.15.000,- sebagai uang ganti rugi dan Rp.5.000,- sebagai
uang tali asih, ditambah tanah pengganti berlokasi di Jatisari. Pelaksanaan
Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen sampai sekarang belum selesai
karena terbatasnya dana yang tersedia di Pemkot melalui APBD dan masih adanya
masyarakat yang belum mengambil ganti rugi sehingga tanahnya tidak dapat
dibebaskan sehingga Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen tidak sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
Jalan Tol
Semarang-Solo adalah jalan tol di provinsi Jawa Tengah,
Indonesia.
Jalan Tol Semarang-Solo menghubungkan kota Semarang
dengan Surakarta.
Tol ini mulai dibangun tahun 2009 oleh Jasa Marga
dan diperkirakan akan selesai tahun 2012. Panjang jalan tol ini adalah 75,7 km.
Adapun jalan tol ini terbagi menjadi lima seksi:
Pembangunan
Tol Semarang-Solo membutuhkan biaya investasi sebesar 6,1 triliun rupiah, biaya
konstruksi 2,4 triliun rupiah, dan biaya pengadaan tanah 800 miliar rupiah
(inilah.com, 2009). Konstruksi tol seksi I Semarang (Tembalang)-Ungaran
dimulai pada awal tahun 2009. Ditargetkan tol Semarang-Ungaran dapat
diselesaikan dalam 13 bulan konstruksi. Tol seksi II Ungaran-Bawen akan mulai
dibangun pada November 2009 (ANTARA, 2009).
Walaupun
telah didukung penuh oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, namun
pengerjaan jalan tol tersebut tidak menjamin menemui kendala, bahkan terkesan
proyek jalan tol tersebut terindikasi korupsi serta perbedaan rencana antar
berbagai pihak mengenai proyek tersebut. Menurut berita ANTARA 14 Juni 2010,
pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo rute Kota Semarang hingga Ungaran,
Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, terancam tidak selesai sesuai target waktu
yang ditentukan. Indikasi itu terlihat dari permohonan kontraktor yang meminta
perpanjangan waktu pengerjaan lima bulan lagi terhitung sejak Juni 2010. Banyak
berbagai faktor penghambat proyek tersebut selesai tepat waktu, adapun
faktor-faktor tersebut adalah pembebasan dan pembayaran ganti rugi lahan, masih
ada bangunan milik penduduk yang belum dibongkar, musim hujan yang masih
terjadi.
Permasalahan
yang lebih besar dihadapi adalah adanya kasus di Desa Jatirunggo, Kabupaten
Semarang yang terindikasi adanya korupsi serta negosiasi fiktif harga tanah antara
warga desa dengan Tim Pengadaan Tanah. Kasus yang memprihatinkan di Desa
Jatirunggo adalah pada tanggal 30 April 2010 tabungan senilai Rp 13,2 miliar
yang disimpan di Bank Mandiri milik warga Desa Jatirunggo hilang. Uang tersebut
merupakan pembayaran atas tanah warga yang dibeli untuk mengganti lahan PT.
Perhutani yang terkena proyek Jalan tol Semarang-Solo.
Pengadaan
tanah di Desa Jatirunggo dinailai merugukan keuangan negara sekitar Rp 8,1
miliar karena pemerintah membayar penggantian lahan Rp 50.000 per meter persegi
namun warga hanya menerima Rp 20.000 per meter persegi. Kasus transaksi
pemindahbukuan rekening tersebut dinilai Komisi D DPRD Jateng berpindah ke
rekening diduga milik broker. Kejadian tersebut semakin tidak wajar karena
pihak bank tidak mengklarifikasi pemindahbukuan itu ke warga. Kejati Jateng
juga menemukan bukti awal adanya rekayasa musyawarah penentuan harga tanah
serta menemukan bukti keterlibatan Agus Sekmaniharto sebagai broker.
Jika
dilihat dari permasalahan pembangunan proyek Jalan Tol Solo-Semarang tersebut
menunjukkan bahwa lemahnya birokrasi serta semakin besarnya peluang melakukan
korupsi di daerah. Rencana pembanguangan yang simpang siur arahnya tersebut
menunjukkan bahwa koordianasi antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota lemah. Lemahnya koordinasi ini terlihat dari
keinginan dari Kota Salatiga untuk meminta interchange berada di pusat
Salatiga, padahal interchange di pusat Kota Salatiga tidak ada dalam
rencana awal. Hal ini menunjukkan bahwa konsistensi pemerintah dalam
menjalankan proyek sangat rendah.
faktor
dominan penghambat pelaksanaan pengadaan lahan Jalan Tol Ruas Semarang-Solo
Seksi Semarang-Ungaran adalah nilai lahan dan sumber pembiayaan. Faktor nilai
lahan disebabkan oleh perbedaan dasar pemikiran antara pemilik lahan dengan
panitia dalam penentuan besarnya ganti rugi. Sedangkan faktor sumber pembiayaan
disebabkan karena swasta enggan untuk mencairkan dana pengadaan lahan. Adanya
risiko pengadaan lahan yaitu tidak adanya kepastian mengenai besaran biaya yang
harus dibayar investor dan kepastian waktu kapan lahan dapat dibebaskan
menyebabkan investor tidak dapat melanjutkan investasinya karena lahan belum
bebas.
Kasus
inidikasi korupsi yang berupa perbedaan antara harga tanah yang disepakati
negara serta jumlah yang diterima warga menunjukkan bahwa Tim Pengadaan Tanah
yang dibentuk pemerintah tidak memiliki intergritas yang baik. Tim tersebut
juga diniliai tidak bekerja secara profesional karena ditemukannya kasus
negosiasi harga fiktif. Belum lagi adanya peran dari bank yang memindahbukukan
renening warga kepada salah satu rekening yang diduga broker semakin
menunjukkan bahwa kinerja Tim rendah.
Kasus yang
melibatkan perbankan juga memberi sinyal negatif bagi pemberantasan korupsi, padahal
perbankan dituntut untuk hati-hati serta profesional dalam menjalankan
bisnisnya. Peranperbankan dalam dugaan korupsi semakin meyakinkan bahwa korupsi
yang terjadi di Indonesia telah berjalan sistematis. Kejadian ini semakin
menguatkan kegagalan pemerintah dalam membagun fasilitas publik yang bersih
dari korupsi dan profesional dalam menjalankan proyek publik.
http://jagalan.blog.uns.ac.id/kegagalan-pemerintah-dalam-proyek-pembangunan-jalan-tol-solo-%E2%80%93-semarang/BimoSatrioWicaksono
mantap buat wawasan masyarakat
BalasHapuskeren..kunjungi juga yaw http://law.uii.ac.id/berita-hukum/tambah-baru/pshk-selenggarakan-fgd-penyiapan-ruu-pertanahan.html
BalasHapus