ASAS
PERLINDUNGAN BAGI WARGA NEGARA INDONESIA UNTUK MEMPUNYAI HAK MILIK ATAS TANAH
Asas perlindungan bagi warga negara Indonesia untuk mempunyai hak
milik atas tanah yakni asas yang menyatakan bahwa hak milik tidak dapat
dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang
dengan ancaman batal demi hukum.[1]
Orang-orang asing hanya dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luas dan
jangka waktunya terbatas. Peraturan mengenai asas perlindungan ini diatur dalam
:
1.
pasal 9
ayat 1 jo.pasal 21 ayat 1 UUPA yang menyatakan bahwa “hanya warga negara
Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang
angkasa.
2.
Pasal 21
yang dengan
tegas UUPA menyatakan bahwa hanya Warga Negara Indonesia (WNI) dan badan-badan
hukum yang telah ditetapkan oleh Pemerintah yang dapat memiliki tanah.
3.
bagi
mereka yang mempunyai status Warga Negara Asing (WNA) hanya diperbolehkan
menguasai hak atas tanah dengan status hak pakai.
Dasar dari penguasaan tanah oleh Warga Negara Asing (WNA) dan Badan Hukum Asing
(BHA) yang mempunyai perwakilan di Indonesia secara garis besar telah
diatur dalam Pasal 41 & Pasal 42 Undang - Undang Pokok Agraria (UUPA) dan
diatur lebih lanjut dalam PP No. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan (HGB),
Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP) atas tanah.
Berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku tersebut, maka Warga Negara Asing (WNA) yang berkedudukan di Indonesia
atau Badan Hukum Asing (BHA) yang memiliki perwakilan di Indonesia hanya diberi
Hak Pakai (HP). Dengan demikian tidak dibenarkan Warga Negara Asing (WNA) atau
Badan Hukum Asing (BHA) memiliki tanah dan bangunan dengan status Hak Milik
(HM).
4.
Hak milik kepada orang
asing dilarang (Pasal 26 ayat 2 UUPA), dan pelanggaran terhadap pasal ini
mengandung sanksi “Batal Demi Hukum.
5.
Pemerintah juga telah menerbitkan PP
No. 41 tahun 1996 yang mengatur tentang pemilikan Rumah Tinggal atau hunian
oleh WNA. Peraturan Pemerintah ini berisi antara lain:
·
WNA yang berkedudukan di Indonesia
diperkenankan untuk memiliki 1 rumah tinggal (Satuan Rumah Susun) yang dibangun
di atas tanah Hak Pakai.
·
Rumah yang berdiri di atas tanah Hak
Pakai (HP) tersebut dapat berasal dari HP atas Tanah Negara atau HP yang
berasal dari tanah Hak Milik (HM) yang diberikan oleh Pemegang Hak Milik.
·
Pemberian Hak Pakai (HP) oleh
pemegang Hak Milik (HM) ini diberikan dengan akta PPAT & perjanjiannya
harus dicatat dalam Buku Tanah dan Sertifikat Hak Milik atas tanah.
Dalam PP
Nomor 41 tahun 1996 terdapat syarat, orang asing yang dapat mempunyai
rumah tinggal di Indonesia adalah orang asing yang kehadirannya
memberikan manfaat bagi pembangunan nasional. Orang asing tersebut dibatasi
boleh memiliki satu rumah tempat tinggal berupa rumah yang berdiri sendiri,
atau satuan rumah susun, yang dibangun diatas tanah hak pakai. Hak pakai
tersebut diberikan paling lama untuk jangka waktu 25 tahun. Berbeda dengan
jenis hak berjangka waktu lainnya seperti hak guna bangunan, hak guna usaha dan
hak pakai (yang bukan untuk orang asing) dapat diperpanjang untuk waktu
tertentu setelah jangka waktu pemberian pertama berakhir. Hak Pakai rumah
tinggal untuk orang asing tidak dapat diperpanjang, namun dapat diperbarui
untuk jangka waktu 20 tahun dengan ketentuan orang asing tersebut masih
berkedudukan di Indonesia.
Jangka waktu
’hanya’ 25 (dua puluh lima) tahun tersebut dinilai banyak kalangan sudah tidak
kondusif dengan perkembangan dunia global sekarang ini, tidak menarik minat orang
asing untuk membeli rumah di Indonesia. Sebagai perbandingan, Singapura
membolehkan warga negara asing untuk memiliki bangunan komersial, hotel dan
hunian dengan jangka waktu hak tanah 99 tahun, dan untuk industri diberikan 60
tahun. Di Thailand, hak sewa menyewa dengan warga negara asing berlaku selama
30 tahun dengan perpanjangan 30 tahun. Sedangkan di Kamboja antara 70 sampai
dengan 99 tahun.
Namun
demikian UUPA tidak menutup sama sekali kesempatan warga negara asing dan badan
hukum asing untuk mempunyai hak atas tanah di Indonesia. Warga negara asing
dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia, tetapi terbatas, yakni hanya boleh
dengan status hak pakai. Sehingga dari prinsip nasionalitas ini, semakin jelas
kepentingan warga negara Indonesia diatas segala-galanya baik dari segi
ekonomi, sosial, politis dan malahan dari sudut Hankamnas untuk menciptakan
asas perlindungan bagi warga negara Indonesia untuk mempunyai hak milik atas
tanah.
Jadi
bisa ditegaskan bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan
bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya (Pasal
9(1)). Ketentuan ini mendapat penerapan lebih lanjut dalam pengaturan Hak Milik
sebagai Hak Atas Tanah terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah. Hanya
WNI yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah (Pasal 21(1)). Konsekuensinya
adalah penguasaan hak atas tanah oleh WNA dibatasi, yakni hanya dimungkinkan
diberikan Hak Pakai atau Hak Sewa.
Asas
tersebut di atas tidak berarti meniadakan peran WNA dalam pembangunan Nasional.
Indonesia sebagai Negara berkembang masih sangat membutuhkan investasi asing.
Oleh karena itu, untuk mengimbangi pesatnya kebutuhan hukum dalam praktek dan
untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi WNA yang ingin memperoleh hak
atas tanah di Indonesia telah dikeluarkan beberapa peraturan, diantaranya PP
No. 40 Tahun 1996, PP No. 41 Tahun 1996, dan PMNA/KBPN No. 7 Tahun 1996
Jo.PMNA/KBPN No. 8 Tahun 1996. Peraturan-peraturan tersebut merupakan kebijakan
Pemerintah dalam melaksanakan amanat UUPA yang memperkenankan WNA yang
berkedudukan di Indonesia untuk memperoleh tanah dengan status Hak Pakai.
IMPLEMENTASI
DI MASYARAKAT
1.
KEPEMILIKAN
TANAH TERSELUBUNG OLEH WARGA NEGARA ASING
Kepemilikan
tanah terselubung merupakan model kepemilikan tanah yang secara formal
diatasnamakan orang lain berdasarkan suatu perjanjian tertentu. Bentuk
perjanjianya ada yang secara lisan dan ada pula yang tertulis yang dibuat
dihadapan notaris. Model ini marak dilakukan oleh Warga Negara Asing
(selanjutnya disingkat WNA) yang ingin memperoleh hak milik atas tanah di
Indonesia. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan hukum positif di
Indonesia. dimana warga negara asing melakukan kesepakatan atau perjanjian atau
perikatan jual beli dengan warga negara Indonesia pemegang hak milik atas tanah
yang diperjanjikan. Ada juga dengan modus Warga Negara Indonesia memberikan
kewenangan melalui ’surat kuasa’ kepada Warga Negara Asing untuk menguasai dan
melakukan perbuatan hukum di atas tanah hak milik tersebut. Secara administratif
tanah hak milik dimaksud terdaftar atas nama Warga Negara Indonesia, tetapi
fakta di lapangan Warga Negara Asing-lah yang menguasai dan melakukan aktifitas
di atas tanah hak milik tersebut.[2]
Hasil
penelitian Sanusi (2002:7-11), menunjukkan bahwa di Kota Batam terdapat sekitar
1.692 orang tenaga kerja WNA. Lebih lanjut disebutkan bahwa secara materiil di
Kota Batam terdapat banyak WNA yang mempunyai rumah, namun secara yuridis sulit
dibuktikan karena adanya pernikahan dibawah tangan dengan seorang Warga Negara
Indonesia (WNI). Rumah tersebut dicatat atasnama istri/suaminya yang berstatus
WNI. Demikian pula di Provinsi Bali yang menjadi tujuan wisata utama di
Indonesia. Secara nyata di beberapa Desa seperti Desa Canggu, Desa
Lalanglinggah beberapa WNA yang meminjam nama seorang WNI untuk memperoleh Hak
Milik atas tanah. Selanjutnya antara WNI dan WNA membuat suatu perjanjian
dihadapan Notaris yang isinya bahwa WNI tetap mengakui kepemilikan WNA tersebut
dan baik dirinya maupun ahli warisnya tidak akan melakukan gugatan apapun
terhadap tanah tersebut.
Tindakan
demikian secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang, dalam hal ini UUPA,
dan karena itu merupakan tindakan yang disebut penyelundupan hukum. Coba
periksa Pasal 26 (ayat 2) UUPA, yang menyatakan setiap jual beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada
orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, adalah batal
karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara.
Tampaknya
lembaga Hak Pakai kurang populer di masyarakat dan sangat tidak diminati oleh
WNA walaupun dengan beragam alasan. WNA justru mencari celah agar memperoleh
Hak Milik atas tanah. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah praktek
demikian dapat menguntungkan semua pihak sehingga harus direspon positif?
(mengingat secara sosial diterima dimasyarakat) dan hal ini pasti akan
berdampak terhadap Administrasi Pertanahan. Maka yang perlu kita ketahui adalah
perjanjian yang dibuat antara WNA dan WNI. Perjanjian demikian tidak dapat dibenarkan
dan tidak sah, karena:
1. perjanjian
demikian tidak memenuhi asas kebebasan berkontrak dalam KUHPdt. Alasannya
karena asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang
oleh Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak
bertentangan dengan kesusilaan.
Perjanjian
demikian sudah jelas dilarang oleh Undang-Undang karena melanggar ketentuan
Pasal 21 ayat (2) UUPA.
2. perjanjian
tersebut tidak sah karena melanggar ketentuan Pasal 1320 KUHPdt. yakni tidak
memenuhi suatu sebab yang halal.
Perjanjian
demikian bermaksud menyelundupkan ketentuan Pasal 21 ayat (2) UUPA. Syarat ini
merupakan syarat obyektif karena mengenai sesuatu yang menjadi obyek
perjanjian. Akibat hukumnya adalah batal demi hukum.
Dengan
demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka hakim
karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian.
Dengan demikian, perjanjian tersebut masih menempatkan WNA pada posisi yang lemah. Selain itu, biasanya untuk mengamankan kepemilikan tanahnya, sertipikat yang atas WNI tersebut dipegang langsung oleh WNA. Hal ini pun mempunyai potensi konflik yang sangat besar karena WNA dapat dituduh melakukan tindakan kriminal menyembunyikan sertipikat orang lain. Akhirnya hanya kejujuran WNI-lah yang diharapkan.
Dengan demikian, perjanjian tersebut masih menempatkan WNA pada posisi yang lemah. Selain itu, biasanya untuk mengamankan kepemilikan tanahnya, sertipikat yang atas WNI tersebut dipegang langsung oleh WNA. Hal ini pun mempunyai potensi konflik yang sangat besar karena WNA dapat dituduh melakukan tindakan kriminal menyembunyikan sertipikat orang lain. Akhirnya hanya kejujuran WNI-lah yang diharapkan.
Selanjutnya
bagi WNI, sekilas tampak menguntungkan karena WNI yang dipinjam namanya
biasanya sekaligus diberi kepercayaan mengelola usaha WNA tersebut. Dengan
demikian WNI dapat menambah pendapatanya. Apabila ditelusuri lebih jauh,
sesungguhnya WNI sangat dirugikan. WNI tidak mempunyai investasi jangka panjang
dan akan selalu tunduk kepada kehendak WNA, sehingga tidak dapat menjadi tuan
di Negeri sendiri.
Dilihat
dari pendapatan Negara, akibat praktek demikian Negara sangat dirugikan.
Padahal apabila lembaga Hak Pakai benar-benar diterapkan, maka selain proses
pemberian hak, berikutnya akan muncul pula proses perpanjangan dan pembaruan
hak yang dapat menambah uang pemasukan ke kas Negara.
Dilihat
dari kepentingan Negara, di Indonesia menganut konsep Hak Menguasai Negara.
Negara bukan pemilik tanah, tetapi dalam kedudukanya sebagai personifikasi
rakyat/bangsa Indonesia, Negara mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu. Dalam
rangka melaksanakan kewenangannya, Negara mempunyai kewajiban untuk menjaga
keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan perseorangan. Pada praktek
demikian, jelaslah kiranya Negara sangat sulit untuk melaksanakan kewenangannya
karena kepemilikan tanah tersebut terdaftar atas nama bukan pemilik sebenarnya,
sehingga hukum formal tidak mampu mendeteksinya kecuali disengketakan di
Pengadilan.
Kepemilikan
tanah terselubung yang dilakukan oleh WNA tersebut di atas, dapat dikatakan
merusak administrasi pertanahan. Berdasarkan Hukum Tanah Nasional yang berhak
atas tanah adalah orang yang namanya terdaftar di Kantor Pertanahan atau yang
tertera pada sertipikat. Administrasi pertanahan akan menjadi rancu karena
adanya perbedaan antara kebenaran formal (dejure) dengan kebenaran materiil (de
facto) terhadap hak milik atas tanah. Hal ini akan berpotensi menimbulkan masalah
baru bagi peralihan hak selanjutnya baik karena perbuatan hukum maupun karena
pewarisan. Walaupun dewasa ini sering dijumpai administrasi mampu mengalahkan
prinsip yang sebenarnya, namun pada praktek kepemilikan tanah terselubung oleh
WNA ini tetap menjadi bom waktu yang suatu saat masalahnya siap meledak seiring
dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat dan terkikisnya nilai-nilai kejujuran.
Oleh karena itu, satu-satunya jalan
untuk mengamankan tertib administrasi pertanahan adalah semua pihak harus turut
berupaya menghentikan kepemilikan tanah terselubung yang akhir-akhir ini marak
terjadi.
[1] Triana Rejekiningsih, SH.KN.M.Pd. 2011.Hukuk
Pertanahan
[2] : I made sumadra.kepemilikan tanah
terselubung merusak administrasi pertanahan. http://imadesumadra.blogspot.com/2011/05/kepemilikan-tanah-terselubung.html
artikel ini sangat membantu. perspektif yang cukup kuat untuk diimplementasikan
BalasHapussangat menginspirasi. semoga bisa diimplementasikan agar Bangsa Indonesia tidak melakukan manipulasi untuk kepentingan asing
BalasHapus