Pendahuluan
Penegakan
hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya
norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau
hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dan untuk mewujudkan
penegakan hukum diperlukan aparat penegak hukum yang bertindak secara tegas
adil dan jujur, aparat penegak hukum di Indonesia ada tiga macam yaitu polisi
jaksa dan hakim. Perlu adanya sinkronisasi diantara ketiga aparat penegak hukum
tersebut, apabila sudah terjalin maka akan tercipta suatu keadaan yang menjadi
tujuan dari hukum itu dibuat yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan juga
keadilan bagi setiap masyarakat.
Hakim
sejatinya adalah pejabat negara yang ditugaskan sebagai pengadil dan pelaksana
hukum juga mempunyai kewajiban untuk memeriksa dan mengadili sutau perkara yang
dilimpahkan ke pengadilan, walaupun sekarang ini yang kita rasakan bahwa
peraturan hukumnya tidak atau kurang jelas bahkan mungkin belum diatur secara
tegas dalam perkara yang dilimpahkannya, karena hakim harus memeriksa dan
mengadili maka para hakim harus dapat menemukan hukumnya agar perkara yang
ditanganinya dapat diadili. Dalam konteks inilah hakim berfungsi sebagai
pembentuk hukum apabila pada akhirnya hakim tersebut dapat menyelesaikan
tugasnya dengan adil dan baik dalam perkara yang diadili. Hakikat tugas hakim
itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk
mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana
maupun di lapangan hukum perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah
seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan
hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Dan
pada kali ini akan membahas tentang hakim baik dari segi kinerja, masalah
masalah, tantangan tantangan, pembangunan hakim dll akan dibahas dalam paper
ini.
Pembahasan
A.
Hakim
Sebagai Aparatur Penegak Hukum
Dalam aparatur penegak
hukum ini mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat
(orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang
terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat
hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Dalam proses bekerjanya
aparatur penegak hukum, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:
(i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana
pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait
dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii)
perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang
mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya
memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum
dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
Hukum tidak mungkin
akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau
nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin
menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu
yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita
hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan
hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang
memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu (i) pembuatan hukum (‘the
legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii) sosialisasi,
penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation
of law, dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law). Ketiganya
membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the administration of law)
yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang
bertanggungjawab (accountable).
Dalam kaitannya hakim
dengan penegakan hukum, penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ‘law
enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas,
dalam arti hukum materiil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa
Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’ dalam
arti pengadilan hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan.
Bahkan, dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat
disebut dengan istilah ‘Supreme Court of Justice’. Istilah-istilah itu
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya
bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim
dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata
dikatakan bahwa hakim cukup menemukan kebenaran formil belaka, sedangkan dalam
perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materiel
yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan
pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya
mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel.
Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum
perdata.
Jadi dapat kita
simpulkan bahwa hakim itu merupakan salah satu ujung tombak atau corong hukum
di dalam penegakan hukumnya, sehingga perlu adanya peningkatan kinerja para
aparatur negara khususnya hakim dan juga tak kalah pentingnya yaitu pengawasan
terhadap kinerjanya agar dalam menjalankan tugasnya para hakim ini tidak
sewenang-wenang.
B.
Kinerja
Hakim Di Indonesia
Kinerja hakim di
Indonesia sampai saat ini dirasakan belum memuaskan hal ini dikarenakan banyak
persoalan-persoalan yang melanda para hakimnya, disaat masyarakat merindukan
hukum yang bisa digunakan untuk dijadikan tumpuan terakhir disaat keadilan dan
hak hak masyarakat dirampas, ini menjadikan kepercayaan masyarakat terhadap
penegak hukum menjadi semakin melemah dimana masih banyak sekali praktek jual
beli putusan yang terjadi. Persoalan yang terjadipun juga sebagian besar
berasal dari lingkup pejabat negara itu sendiri seperti kasus kasus dimana para
hakim yang meloloskan para tersangka korupsi dengan vonis bebas. Hal itu dikarenakan lemahnya
pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) selaku pemegang kuasa
pengadilan tertinggi, begitu pula Komisi Yudisial (KY), sebagai institusi
eksternal pengawas kode etik profesi hakim. Ini menjadi penyebab maraknya
putusan bebas yang dikeluarkan hakim Pengadilan Tipikor terhadap terdakwa kasus
korupsi.
Contoh konkret tentang
praktek jual beli putusan ini seperti yang dilakukan oleh hakim Syarifuddin
tentang kasus Agusrin di Makasar, dibantu dengan beberapa LSM peduli keadilan
di Makasar sebelumnya melansir setidaknya ada sembilan vonis bebas yang
dijatuhkan Syarifuddin kepada terdakwa kasus dugaan korupsi di PN Makasar. Dan
akhirnya hakim Syarifuddin pada 1 Juni 2011 malam lalu ditangkap KPK di
kediamannya di kawasan Sunter, Jakarta Utara, karena diduga menerima sup dari
kurator Puguh Wiryawan terkait proses peradilan pemberesan harta kepailitan PT Skycamping Indonesia. Keduanya kini
menjadi tersangka dan hakim Syarifuddin dibebaskan sementara dari tugasnya.
Inilah merupakan salah satu bukti nyata dari tidak memuaskannya kinerja hakim
di Indonesia yang dibarengi dengan lemahnya pengawasan terhadap kinerja para
hakim yang mengakibatkan semakin melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap
aparatur penegak hukum di Indonesia.
Maka dari itu perlu
adanya pengkajian lebih lanjut terhadap kasus bebasnya terdakwa korupsi, agar
seperti kasus hakim Syarifuddin ini tidak bakal terulang lagi. Selain Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial, pihak yang berkepentingan menjaga pengadilan tipikor
tetap berintegritas perlu ikut terlibat aktif melakukan kajian. Seharusnya
penyebab vonis bebas selama ini harus dipetakan guna mencegah terjadi kembali
di kemudian hari. Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir pasca
lahirnya Undang-Undang Pengadilan Tipikor Tahun 2008, sebanyak 26 terdakwa
kasus korupsi divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor. Sebanyak 26 terdakwa
korupsi yang divonis bebas atau lepas tersebut terdiri satu orang di Pengadilan
Tipikor Jakarta, satu orang di Pengadilan Tipikor Semarang, 21 orang di
Pengadilan Tipikor Surabaya, dan tiga di Pengadilan Tipikor Bandung.
C.
Problem
Atau Masalah Hakim Saat Ini
Masalah yang penting
untuk segera diselesaikan secepat mungkin yaitu
bagaimana bisa mendapatkan hakim yang baik, mengutip kata “Odette
Buitendam” Good Judges Are Not Born But Made. Ini berarti bahwa hakim yang baik
yaitu hakim yang memiliki profesionalitas, integritas, kualitas bukanlah lahir
dengan sendirinya akan tetapi dibentuk.. Perubahan kearah terciptanya sistem
peradilan yang lebih baik hanya dapat terjadi apabila kita berhasil membentuk
dan menempatkan hakim yang baik tersebut pada badan‐badan peradilan.
Masalah hakim yang
marak baru baru ini selain masalah tentang jual beli putusan yaitu tentang para
hakim yang menuntut masalah kesjahteraan padahal jika dibandingkan dengan
kinerjanya ini sangatlah berbanding terbalik dimana banyak praktik tidak baik
di pengadilan di Indonesia seperti pengadilan yang dijadikan pasar jual beli
putusan. Hal ini menimbulkan kepercayaan rakyat terhadap penegak hukum ini
rendah.
Aksi nekat para hakim
inipun tak kalah menariknya karena para hakim merencanakan untuk demo hakim di
depan Istana Negara. Demo menuntut kesejahteraan Jika mengharap kenaikan gaji
yang signifikan, maka seharusnya hakim harus membenahi sikap dan cara
pengambilan keputusan. Untuk saat ini DPR belum bisa mengabulkan remunerasi
yang penuh. Minimnya kesejahteraan membuat sejumlah hakim bergerak. Mereka
mengajak para hakim di seluruh Indonesia untuk aksi turun jalan ke Istana
Merdeka dan DPR. Selain melakukan aksi turun jalan, para hakim juga akan
mengadukan kesejahteraan hakim ke Mahkamah Konstitusi (MK) lewat judicial review
UU No 3/2009 tentang Mahkamah Agung (MA).
D.
Membangun
Hakim Yang Baik
Berkaitan dengan pernyataan odette buitendam maka dalam membentuk
dan menempatkan hakim baru yang baik melalui cara :
·
Pendidikan
Hakim
Dalam
Undang‐Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang‐Undang Nomor 2
Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum mengatur : Pasal 14 tentang Pendidikan Hakim
(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan, seseorang harus memenuhi
syarat sebagai berikut :
a.
Warga Negara Indonesia;
b.
Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
Setia kepada Pancasila dan Undang‐Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d.
Sarjana Hukum;
e.
Lulus Pendidikan Hakim;
f.
Mampu secara rohani dan jasmani untuk
menjalankan tugas dan kewajiban;
g.
Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan
tidak tercela;
h.
Berusia paling rendah 25 (dua puluh
lima) tahun dan paling tinggi 40 (empat puluh) tahun; dan
i.
Tidak pernah dijatuhi pidana penjara
karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Penjelasan
Pasal 14 (1) huruf e : Pendidikan hakim diselenggarakan bersama oleh Mahkamah
Agung dan Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta yang terakreditasi A dalam jangka
waktu yang ditentukan dan melalui proses seleksi yang ketat.
·
Rekrutmen
Selain
dari pendidikan juga perlu adanya rekruitmen hakim baru yang sesuai dengan
Undang‐Undang Nomor 49, 50 dan 51 Tahun 2009 :
1) Pengangkatan
hakim pengadilan negeri dilakukan melalui proses seleksi yang transparan,
akuntabel dan partisipatif.
2) Proses
seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial.
3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial.
Rekrutmen
selama ini mengandung beberapa masalah seperti penentuan kelulusan tidak jelas
dan tidak terbuka, minimnya peminat yang berkualitas, perencanaan rekrutmen
terpusat dan tidak melibatkan pengadilan daerah, informasi rekrutmen kurang
terbuka, persyaratan calon hakim tidak relevan dengan tanggung jawab jabatan, pelaksana
rekrutmen tidak kompeten, formasi tidak sesuai dengan kebutuhan, adanya campur
tangan pihak luar.
·
Pengawasan
Dalam rangka mengawasi
pelaksanaan tugas para hakim agung, perlu diatur adanya dua jenis pengawasan,
yaitu pengawasan internal dilakukan oleh Badan Pengawas pada Mahkamah Agung.
Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas ini bersifat internal dan
berfungsi sebagai pengawas terhadap pelaksanaan tugas-tugas peradilan di semua
tingkatan dan di seluruh wilayah hukum peradilan Republik Indonesia. Sedangkan
pengawasan yang bersifat eksternal dilakukan oleh sebuah komisi independen yang
dinamakan Komisi Yudisial. Keberadaan lembaga pengawas eksternal ini penting
agar proses pengawasan dapat benar-benar bertindak objektif untuk kepentingan
pengembangan sistem peradilan yang bersih, efektif dan efisien. Agar Komisi
Yudisial ini dapat benar-benar bersifat independen, maka administrasi komisi
ini sebaiknya tidak dikaitkan dengan organisasi Mahkamah Agung, tetapi sebaik
dengan lembaga DPR. Demikian pula mengenai anggaran Komisi Yudisial sebaiknya
tidak dimasukkan dalam satu pos anggaran Mahkamah Agung, tetapi dalam pos
anggaran DPR.
Di samping itu, Komisi
Yudisial sebaiknya berkedudukan hanya di Jakarta, dan keanggotaannya ditentukan
hanya berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas 3 orang mantan hakim agung, 2
orang advokat, 2 orang tokoh masyarakat/tokoh agama, dan 2 orang akademisi.
Melihat lingkup wewenangnya, ditambah kompleksitas permasalahan yang dihadapi
serta luasnya wilayah Indonesia yang memerlukan pengawasan oleh Komisi ini,
perlu dipertimbangkan bahwa Komisi Yudisial ini tidak hanya dibentuk di Jakarta
untuk mengawasi para Hakim Agung, tetapi juga dibentuk di daerah-daerah tempat
kedudukan Pengadilan Tinggi, sehingga Komisi Yudisial ini benar-benar dapat
difungsikan sebagai lembaga pengawas eksternal yang efektif terhadap
tugas-tugas peradilan di semua tingkatan. Seperti halnya di tingkat pusat, di
daerah-daerah keberadaan Komisi Yudisial ini juga dikaitkan dengan DPRD.
Selain pengawasan internal
dan eksternal juga diperlukannya pengawasan oleh masyarakat, dalam masyarakat,
berkembang ide pengawasan oleh masyarakat, dapat dikatakan baik. Akan tetapi,
pengawasan oleh masyarakat tersebut sebaiknya dikaitkan dengan pelaksanaan
tugas dan fungsi pengawasan oleh DPR yang sebagian telah pula dilimpahkan
menjadi tugas dan fungsi Komisi Yudisial. Oleh karena itu, segala jenis keluhan
dan laporan dari masyarakat berkenaan dengan tindakan Hakim Agung ataupun
pejabat peradilan kasasi pada umumnya yang merugikan kepentingan masyarakat,
sebaiknya diserahkan atau disampaikan kepada DPR atau kepada Komisi Yudisial,
bukan kepada pimpinan Mahkamah Agung ataupun kepada Hakim Agung.
Di samping itu, Hakim Agung juga
tidak seharusnya dibebani dengan kewajiban untuk memberikan informasi kepada
masyarakat, dan untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan langsung oleh
masyarakat, karena ditetapkannya jaminan hak bagi masyarakat untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi tentang
penyelenggaraan peradilan dan putusan hakim dengan segala sarana yang tersedia.
Fungsi pemberian informasi semacam ini sebaiknya cukup ditangani oleh
Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung, tanpa perlu melibatkan tanggungjawab Hakim
Agung. Demikian pula mengenai hak masyarakat untuk melaporkan mengenai
pelanggaran ataupun tindakan-tindakan Hakim Agung ataupun para pejabat di
lingkungan Mahkamah Agung yang dianggap merugikan kepentingan masyarakat, tidak
perlu dikaitkan dengan Hakim Agung dan Mahkamah Agung, tetapi cukup dikaitkan
dengan Komisi Yudisial. Justru dibentuknya Komisi Yudisial itu adalah untuk
menangani laporan-laporan dari masyarakat semacam itu.
Daftar
Pustaka
Mustofa,
Abdullah, Problem dan Tantangan Rekrutmen Hakim dan Hakim Agung, Bandung :
Komisi Yudisial RI, 2010.
Sutrisno Pardoen,
Pengantar ilmu hukum, Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 1989.
Siregar,
Bismar, Hukum Hakim Dan Keadilan Tuhan, cet. ke-1 Jakarta : Gema Insani Press,
1995
Shidarta,
dan Darji Darmodiharjo dan Pokok-Pokok Filsafat Hukum, cet. ke-4, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Wisnubroto,
Aloysius, Hakim Dan Peradilan Di Indonesia, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, cet. ke-1, 1997.
0 komentar:
Posting Komentar