Sabtu, 09 Juni 2012

Kehakiman


Pendahuluan
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dan untuk mewujudkan penegakan hukum diperlukan aparat penegak hukum yang bertindak secara tegas adil dan jujur, aparat penegak hukum di Indonesia ada tiga macam yaitu polisi jaksa dan hakim. Perlu adanya sinkronisasi diantara ketiga aparat penegak hukum tersebut, apabila sudah terjalin maka akan tercipta suatu keadaan yang menjadi tujuan dari hukum itu dibuat yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan juga keadilan bagi setiap masyarakat.
Hakim sejatinya adalah pejabat negara yang ditugaskan sebagai pengadil dan pelaksana hukum juga mempunyai kewajiban untuk memeriksa dan mengadili sutau perkara yang dilimpahkan ke pengadilan, walaupun sekarang ini yang kita rasakan bahwa peraturan hukumnya tidak atau kurang jelas bahkan mungkin belum diatur secara tegas dalam perkara yang dilimpahkannya, karena hakim harus memeriksa dan mengadili maka para hakim harus dapat menemukan hukumnya agar perkara yang ditanganinya dapat diadili. Dalam konteks inilah hakim berfungsi sebagai pembentuk hukum apabila pada akhirnya hakim tersebut dapat menyelesaikan tugasnya dengan adil dan baik dalam perkara yang diadili. Hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Dan pada kali ini akan membahas tentang hakim baik dari segi kinerja, masalah masalah, tantangan tantangan, pembangunan hakim dll akan dibahas dalam paper ini.

Pembahasan
A.    Hakim Sebagai Aparatur Penegak Hukum
Dalam aparatur penegak hukum ini mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu (i) pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law, dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law). Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable).
Dalam kaitannya hakim dengan penegakan hukum, penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti hukum materiil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’ dalam arti pengadilan hukum dan ‘court of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah ‘Supreme Court of Justice’. Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan kebenaran formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materiel yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa hakim itu merupakan salah satu ujung tombak atau corong hukum di dalam penegakan hukumnya, sehingga perlu adanya peningkatan kinerja para aparatur negara khususnya hakim dan juga tak kalah pentingnya yaitu pengawasan terhadap kinerjanya agar dalam menjalankan tugasnya para hakim ini tidak sewenang-wenang.
B.     Kinerja Hakim Di Indonesia
Kinerja hakim di Indonesia sampai saat ini dirasakan belum memuaskan hal ini dikarenakan banyak persoalan-persoalan yang melanda para hakimnya, disaat masyarakat merindukan hukum yang bisa digunakan untuk dijadikan tumpuan terakhir disaat keadilan dan hak hak masyarakat dirampas, ini menjadikan kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum menjadi semakin melemah dimana masih banyak sekali praktek jual beli putusan yang terjadi. Persoalan yang terjadipun juga sebagian besar berasal dari lingkup pejabat negara itu sendiri seperti kasus kasus dimana para hakim yang meloloskan para tersangka korupsi dengan vonis bebas. Hal itu dikarenakan lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) selaku pemegang kuasa pengadilan tertinggi, begitu pula Komisi Yudisial (KY), sebagai institusi eksternal pengawas kode etik profesi hakim. Ini menjadi penyebab maraknya putusan bebas yang dikeluarkan hakim Pengadilan Tipikor terhadap terdakwa kasus korupsi.
Contoh konkret tentang praktek jual beli putusan ini seperti yang dilakukan oleh hakim Syarifuddin tentang kasus Agusrin di Makasar, dibantu dengan beberapa LSM peduli keadilan di Makasar sebelumnya melansir setidaknya ada sembilan vonis bebas yang dijatuhkan Syarifuddin kepada terdakwa kasus dugaan korupsi di PN Makasar. Dan akhirnya hakim Syarifuddin pada 1 Juni 2011 malam lalu ditangkap KPK di kediamannya di kawasan Sunter, Jakarta Utara, karena diduga menerima sup dari kurator Puguh Wiryawan terkait proses peradilan pemberesan harta kepailitan  PT Skycamping Indonesia. Keduanya kini menjadi tersangka dan hakim Syarifuddin dibebaskan sementara dari tugasnya. Inilah merupakan salah satu bukti nyata dari tidak memuaskannya kinerja hakim di Indonesia yang dibarengi dengan lemahnya pengawasan terhadap kinerja para hakim yang mengakibatkan semakin melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegak hukum di Indonesia.
Maka dari itu perlu adanya pengkajian lebih lanjut terhadap kasus bebasnya terdakwa korupsi, agar seperti kasus hakim Syarifuddin ini tidak bakal terulang lagi. Selain Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, pihak yang berkepentingan menjaga pengadilan tipikor tetap berintegritas perlu ikut terlibat aktif melakukan kajian. Seharusnya penyebab vonis bebas selama ini harus dipetakan guna mencegah terjadi kembali di kemudian hari. Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir pasca lahirnya Undang-Undang Pengadilan Tipikor Tahun 2008, sebanyak 26 terdakwa kasus korupsi divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor. Sebanyak 26 terdakwa korupsi yang divonis bebas atau lepas tersebut terdiri satu orang di Pengadilan Tipikor Jakarta, satu orang di Pengadilan Tipikor Semarang, 21 orang di Pengadilan Tipikor Surabaya, dan tiga di Pengadilan Tipikor Bandung.
C.    Problem Atau Masalah Hakim Saat Ini
Masalah yang penting untuk segera diselesaikan secepat mungkin yaitu  bagaimana bisa mendapatkan hakim yang baik, mengutip kata “Odette Buitendam” Good Judges Are Not Born But Made. Ini berarti bahwa hakim yang baik yaitu hakim yang memiliki profesionalitas, integritas, kualitas bukanlah lahir dengan sendirinya akan tetapi dibentuk.. Perubahan kearah terciptanya sistem peradilan yang lebih baik hanya dapat terjadi apabila kita berhasil membentuk dan menempatkan hakim yang baik tersebut pada badanbadan peradilan.
Masalah hakim yang marak baru baru ini selain masalah tentang jual beli putusan yaitu tentang para hakim yang menuntut masalah kesjahteraan padahal jika dibandingkan dengan kinerjanya ini sangatlah berbanding terbalik dimana banyak praktik tidak baik di pengadilan di Indonesia seperti pengadilan yang dijadikan pasar jual beli putusan. Hal ini menimbulkan kepercayaan rakyat terhadap penegak hukum ini rendah.
Aksi nekat para hakim inipun tak kalah menariknya karena para hakim merencanakan untuk demo hakim di depan Istana Negara. Demo menuntut kesejahteraan Jika mengharap kenaikan gaji yang signifikan, maka seharusnya hakim harus membenahi sikap dan cara pengambilan keputusan. Untuk saat ini DPR belum bisa mengabulkan remunerasi yang penuh. Minimnya kesejahteraan membuat sejumlah hakim bergerak. Mereka mengajak para hakim di seluruh Indonesia untuk aksi turun jalan ke Istana Merdeka dan DPR. Selain melakukan aksi turun jalan, para hakim juga akan mengadukan kesejahteraan hakim ke Mahkamah Konstitusi (MK) lewat judicial review UU No 3/2009 tentang Mahkamah Agung (MA).
D.    Membangun Hakim Yang Baik
Berkaitan dengan pernyataan odette buitendam maka dalam membentuk dan menempatkan hakim baru yang baik melalui cara :
·         Pendidikan Hakim
Dalam UndangUndang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum mengatur : Pasal 14 tentang Pendidikan Hakim (1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.       Warga Negara Indonesia;
b.      Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.       Setia kepada Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d.      Sarjana Hukum;
e.       Lulus Pendidikan Hakim;
f.       Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban;
g.      Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela;
h.      Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40 (empat puluh) tahun; dan
i.        Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Penjelasan Pasal 14 (1) huruf e : Pendidikan hakim diselenggarakan bersama oleh Mahkamah Agung dan Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta yang terakreditasi A dalam jangka waktu yang ditentukan dan melalui proses seleksi yang ketat.
·         Rekrutmen
Selain dari pendidikan juga perlu adanya rekruitmen hakim baru yang sesuai dengan UndangUndang Nomor 49, 50 dan 51 Tahun 2009 :
1)      Pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan melalui proses seleksi yang transparan, akuntabel dan partisipatif.
2)      Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
3)      Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Rekrutmen selama ini mengandung beberapa masalah seperti penentuan kelulusan tidak jelas dan tidak terbuka, minimnya peminat yang berkualitas, perencanaan rekrutmen terpusat dan tidak melibatkan pengadilan daerah, informasi rekrutmen kurang terbuka, persyaratan calon hakim tidak relevan dengan tanggung jawab jabatan, pelaksana rekrutmen tidak kompeten, formasi tidak sesuai dengan kebutuhan, adanya campur tangan pihak luar.
·         Pengawasan
Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas para hakim agung, perlu diatur adanya dua jenis pengawasan, yaitu pengawasan internal dilakukan oleh Badan Pengawas pada Mahkamah Agung. Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas ini bersifat internal dan berfungsi sebagai pengawas terhadap pelaksanaan tugas-tugas peradilan di semua tingkatan dan di seluruh wilayah hukum peradilan Republik Indonesia. Sedangkan pengawasan yang bersifat eksternal dilakukan oleh sebuah komisi independen yang dinamakan Komisi Yudisial. Keberadaan lembaga pengawas eksternal ini penting agar proses pengawasan dapat benar-benar bertindak objektif untuk kepentingan pengembangan sistem peradilan yang bersih, efektif dan efisien. Agar Komisi Yudisial ini dapat benar-benar bersifat independen, maka administrasi komisi ini sebaiknya tidak dikaitkan dengan organisasi Mahkamah Agung, tetapi sebaik dengan lembaga DPR. Demikian pula mengenai anggaran Komisi Yudisial sebaiknya tidak dimasukkan dalam satu pos anggaran Mahkamah Agung, tetapi dalam pos anggaran DPR.
Di samping itu, Komisi Yudisial sebaiknya berkedudukan hanya di Jakarta, dan keanggotaannya ditentukan hanya berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas 3 orang mantan hakim agung, 2 orang advokat, 2 orang tokoh masyarakat/tokoh agama, dan 2 orang akademisi. Melihat lingkup wewenangnya, ditambah kompleksitas permasalahan yang dihadapi serta luasnya wilayah Indonesia yang memerlukan pengawasan oleh Komisi ini, perlu dipertimbangkan bahwa Komisi Yudisial ini tidak hanya dibentuk di Jakarta untuk mengawasi para Hakim Agung, tetapi juga dibentuk di daerah-daerah tempat kedudukan Pengadilan Tinggi, sehingga Komisi Yudisial ini benar-benar dapat difungsikan sebagai lembaga pengawas eksternal yang efektif terhadap tugas-tugas peradilan di semua tingkatan. Seperti halnya di tingkat pusat, di daerah-daerah keberadaan Komisi Yudisial ini juga dikaitkan dengan DPRD.
Selain pengawasan internal dan eksternal juga diperlukannya pengawasan oleh masyarakat, dalam masyarakat, berkembang ide pengawasan oleh masyarakat, dapat dikatakan baik. Akan tetapi, pengawasan oleh masyarakat tersebut sebaiknya dikaitkan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan oleh DPR yang sebagian telah pula dilimpahkan menjadi tugas dan fungsi Komisi Yudisial. Oleh karena itu, segala jenis keluhan dan laporan dari masyarakat berkenaan dengan tindakan Hakim Agung ataupun pejabat peradilan kasasi pada umumnya yang merugikan kepentingan masyarakat, sebaiknya diserahkan atau disampaikan kepada DPR atau kepada Komisi Yudisial, bukan kepada pimpinan Mahkamah Agung ataupun kepada Hakim Agung.
Di samping itu, Hakim Agung juga tidak seharusnya dibebani dengan kewajiban untuk memberikan informasi kepada masyarakat, dan untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan langsung oleh masyarakat, karena ditetapkannya jaminan hak bagi masyarakat untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi tentang penyelenggaraan peradilan dan putusan hakim dengan segala sarana yang tersedia. Fungsi pemberian informasi semacam ini sebaiknya cukup ditangani oleh Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung, tanpa perlu melibatkan tanggungjawab Hakim Agung. Demikian pula mengenai hak masyarakat untuk melaporkan mengenai pelanggaran ataupun tindakan-tindakan Hakim Agung ataupun para pejabat di lingkungan Mahkamah Agung yang dianggap merugikan kepentingan masyarakat, tidak perlu dikaitkan dengan Hakim Agung dan Mahkamah Agung, tetapi cukup dikaitkan dengan Komisi Yudisial. Justru dibentuknya Komisi Yudisial itu adalah untuk menangani laporan-laporan dari masyarakat semacam itu.














Daftar Pustaka
Mustofa, Abdullah, Problem dan Tantangan Rekrutmen Hakim dan Hakim Agung, Bandung : Komisi Yudisial RI, 2010.
Sutrisno Pardoen, Pengantar ilmu hukum, Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 1989.
Siregar, Bismar, Hukum Hakim Dan Keadilan Tuhan, cet. ke-1 Jakarta : Gema Insani Press, 1995
Shidarta, dan Darji Darmodiharjo dan Pokok-Pokok Filsafat Hukum, cet. ke-4, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Wisnubroto, Aloysius, Hakim Dan Peradilan Di Indonesia, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, cet. ke-1, 1997.

0 komentar:

Posting Komentar