Senin, 04 Mei 2020


Delapan Hal yang Membatalkan Puasa


Selain harus melaksanakan kewajiban-kewajiban pada saat puasa, kita juga dituntut untuk menjaga diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Dalam kitab Fath al-Qarib dijelaskan bahwa perkara yang dapat membatalkan puasa meliputi beberapa hal, berikut perinciannya:   



Pertama, sampainya sesuatu ke dalam lubang tubuh dengan disengaja. Maksudnya, puasa yang dijalankan seseorang akan batal ketika adanya benda (‘ain) yang masuk dalam salah satu lubang yang berpangkal pada organ bagian dalam yang dalam istilah fiqih biasa disebut dengan jauf. Seperti mulut, telinga, hidung. Benda tersebut masuk ke dalam jauf dengan kesengajaan dari diri seseorang.



Lubang (jauf) ini memiliki batas awal yang ketika benda melewati batas tersebut maka puasa menjadi batal, tapi selama belum melewatinya maka puasa tetap sah. Dalam hidung, batas awalnya adalah bagian yang disebut dengan muntaha khaysum (pangkal insang) yang sejajar dengan mata; dalam telinga, yaitu bagian dalam yang sekiranya tidak telihat oleh mata; sedangkan dalam mulut, batas awalnya adalah tenggorokan yang biasa disebut dengan hulqum. 

Puasa batal ketika terdapat benda, baik itu makanan, minuman, atau benda lain yang sampai pada tenggorokan, misalnya. Namun, tidak batal bila benda masih berada dalam mulut dan tidak ada sedikit pun bagian dari benda itu yang sampai pada tenggorokan.

Berbeda halnya ketika benda yang masuk dalam jauf seseorang yang sedang berpuasa dilakukan dalam keadaan lupa, atau sengaja tapi ia belum mengerti bahwa masuknya benda pada jauf adalah hal yang dapat membatalkan puasa. Dalam keadaan demikian, puasa yang dilakukan seseorang tetap dihukumi sah selama benda yang masuk dalam jauf tidak dalam volume yang banyak, seperti lupa memakan makanan yang sangat banyak pada saat puasa. Maka ketika hal tersebut terjadi puasa dihukumi batal. (Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 1, hal. 259).

Kedua, mengobati dengan cara memasukkan benda (obat atau benda lain) pada salah satu dari dua jalan (qubul dan dubur). Misalnya pengobatan bagi orang yang sedang mengalami ambeien dan juga bagi orang yang sakit dengan memasang kateter urin, maka dua hal tersebut dapat membatalkan puasa.

Ketiga, muntah dengan sengaja. Jika seseorang muntah tanpa disengaja atau muntah secara tiba-tiba (ghalabah) maka puasanya tetap dihukumi sah selama tidak ada sedikit pun dari muntahannya yang tertelan kembali olehnya. Jika muntahannya tertelan dengan sengaja maka puasanya dihukumi batal.

Keempat, melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis (jima’) dengan sengaja. Bahkan, dalam konteks ini terdapat ketentuan khusus: puasa seseorang tidak hanya batal dan tapi ia juga dikenai denda (kafarat) atas perbuatannya. Denda ini adalah berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, ia wajib memberi makanan pokok senilai satu mud (0,6 kilogram beras atau ¾ liter beras) kepada 60 fakir miskin. Hal ini tak lain bertujuan sebagai ganti atas dosa yang ia lakukan berupa berhubungan seksual pada saat puasa.

Kelima, keluarnya air mani (sperma) disebabkan bersentuhan kulit. Misalnya, mani keluar akibat onani atau sebab bersentuhan dengan lawan jenis tanpa adanya hubungan seksual. Berbeda halnya ketika mani keluar karena mimpi basah (ihtilam) maka dalam keadaan demikian puasa tetap dihukumi sah

Keenam, mengalami haid atau nifas pada saat puasa. Selain dihukumi batal puasanya, orang yang mengalami haid atau nifas berkewajiban untuk mengqadha puasanya. Dalam hal ini puasa memiliki konsekuensi yang berbeda dengan shalat dalam hal berkewajiban untuk mengqadha. Sebab dalam shalat orang yang haid atau nifas tidak diwajibkan untuk mengqadha shalat yang ia tinggalkan pada masa haid atau nifas.

Ketujuh, gila (junun) pada saat menjalankan ibadah puasa. Ketika hal ini terjadi pada seseorang di pertengahan melaksanakan puasanya, maka puasa yang ia jalankan dihukumi batal.     Kedelapan, murtad pada saat puasa. Murtad adalah keluarnya seseorang dari agama Islam. Misalnya orang yang sedang puasa tiba-tiba mengingkari keesaan Allah subhanahu wata’ala, atau mengingkari hukum syariat yang sudah menjadi konsensus ulama (mujma’ alaih). Di samping batal puasanya, ia juga berkewajiban untuk segera mengucapkan syahadat serta mengqadha puasanya.


Delapan hal di atas adalah perkara yang dapat membatalkan puasa, ketika salah satu dari delapan hal tersebut terjadi pada saat puasa, maka puasa yang dijalankan oleh seseorang menjadi batal. Semoga ibadah puasa kita pada bulan Ramadhan kali ini diberi kelancaran dan kesempurnaan serta menjadi ibadah yang diterima oleh Allah subhanahu wata’ala. Amin yaa Rabbal ‘alamin. Wallahu a’lam.  

Silahkan Klik link dibawah ini kemudian dengarkan dan pahami video tersebut
Disini
Aqidah Dan Akhlak

Sebagai manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa ada interaksi dengan manusia lainnya. Maka, kehadiran tetangga dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim sangat dibutuhkan. Tetangga adalah sosok yang akrab dalam kehidupan kita sehari-hari. Meskipun mungkin tetangga kita ada yang non muslim, senang beribadah atau suka bermaksiat.
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya.” (HR. Bukhari-Muslim). Dalam hadits yang lain, Rasulullah menggambarkan arti pentingnya kedudukan tetangga dengan berpesan “Jibril terus-menerus berwasiat kepadaku (untuk berbuat baik) terhadap tetangga, hingga aku yakin ia (seorang tetangga) akan mewariskan harta kepadanya (tetangganya)” (HR Bukhari Muslim).
Agama Islam menaruh perhatian yang sangat besar kepada pemeluknya dalam segala hal dan urusan. Mulai dari bangun tidur hingga akan tidur lagi, semua tidak luput dari ajarannya. Tak terkecuali dalam masalah adab. Berikut adab-adab bertetangga seorang muslim kepada tetangganya yang perlu kita perhatikan:

Menghormati Tetangga dan Berperilaku Baik Terhadap Mereka

Saat tetangga kita terkena musibah, sebisa mungkin kita ikut membantunya. Baik berupa materi maupun dukungan moril. Dukungan seperti, menghibur dan memberikan nasehat, serta menjenguk dan mendoakan ketika sakit. Selain itu, sebagai tetangga yang baik kita juga perlu menghindari sikap yang dapat menyebabkan tetangg kita merasa tersakiti, baik berupa perbuatan maupun perkataan.
Nabi SAW bersabda, “Tidak masuk surga seorang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya” (HR. Bukhari)

Memelihara Hak-hak Tetangga, Terutama Tetangga yang Paling Dekat

Adapun tetangga paling dekat memiliki hak-hak yang tidak dimiliki oleh tetangga jauh. Hal ini dikutip dari pertanyaan ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullulah aku memiliki dua tetangga, manakah yang aku beri hadiah?’ Nabi menjawab ‘Yang pintunya paling dekat dengan rumahmu’.” (HR. Bukahri (no.6020); Ahmad (no.24895; dan Abu Dawud (no.5155))
Memberikan hadiah kepada tetangga, meskipun dengan sesuatu yang kita anggap remeh, tidaklah mengapa karena saling memberi hadiah akan menumbuhkan rasa cinta dan ukhuwah yang lebih dalam. Dengarlah nasihat Rasulullah, “Jika suatu kali engkau memasak sayur, maka perbanyaklah kuahnya, kemudian perhatikanlah tetanggamu, dan berikanlah mereka sebagiannya dengan cara yang pantas.” (Hr Muslim)

Bersabar Atas Gangguan Tetangga

Ketika kita disakiti oleh tetangga, janganlah kita lantas memusuhinya. Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga golongan yang dicintai Allah.. dan seorang laki-laki yang mempunyai tetangga. Tetangga tersebut menyakitinya. Maka dia sabar atas gangguannya, hingga kematian atau kepergian memisahkan keduanya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim Shahih).
Lalu apa yang akan kita dapatkan jika kita tidak berperilaku baik terhadap tetangga kita?

Menyakiti Tetangga Bisa Menjadi Sebab Masuk Neraka

Seseorang berkata: “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Fulanah banyak melakukan shalat, shadaqah dan puasa. Hanya saja dia menyakiti tetangga dengan lisan. “Rasulullah bersabda: “Dia di dalam neraka.” Lelaki tersebut berkata,”Sesungguhnya Fulanah diceritakan sedikit melakukan puasa dan shalat. Tetapi dia bershadaqah dengan beberapa potong keju dan tidak menyakiti tetangganya.” Kemudian Rasulullah bersabda,”Dia di dalam Surga.” (HR. Ahmad, shahih)

Dosa Memusuhi Tetangga Berlipat Ganda

Rasulullah SAW bersabda, “Seseorang berzina dengan 10 orang perempuan adalah lebih ringan baginya dibandingkan ia berzina dengan istri tetangganya. Seseorang mencuri dari 10 rumah adalah lebih ringan baginya dibandingkan ia mencuri dari seorang tetangganya.”
(HR. Ahmad dalam Al-Musnad (6/8), Al-Bukhori dalam Al-Adab-Al-Mufrod (no.103), Ath-Thobroni dalam Al-Kabir (no.605). Di shohihkan oleh Al-Albani dalam As-Shohihah (no. 65)
Silahkan klik link dibawah, dengarkan dan pahami video tersebut

Materi Pesantren Kilat Ramadhan Tentang Zakat Fitrah, Pengertian, Kadar dan Waktu Pemberian Zakat Fitrah-
Materi tentang zakat fitrah ini menjadi empat pokok bahasan, yaitu:

1.     Pengertian dan hukum zakat fitrah
2.     Kadar zakat firah
3.     Kapan waktu yang tepat untuk melakukan pembagian zakat firah
4.     Siapa yang berhak menerima Zakat Fitrah
Berikut pemabahasan lebih lengkapnya tentang masing-masing pokok bahasan diatas;
Pengertian dan Hukum Zakat Fitrah
Zakat fitrah terdiri dari dua suku kata, yaitu Zakat dan Fitrah. Kata Zakat memiliki arti secara bahasa adalah membersihkan atau mensucikan diri. Kata Zakat menurut istilah adalah ukuran harta yang harus dikeluarkan kepada orang yang berhak sesuai syariat.

Kata fitrah merujuk kepada keadaan dimana manusia ketika pertamakali dilahirkan, dimana pada saat itu tentu manusia tersebut dalam keadaan bersih tanpa dosa. Dengan memberikan zakat firah ini manusia dengan ijin Allah SWT akan kembali fitrah.

Pengertian Zakat Fitrah adalah; zakat diri yang diwajibkan kepada setiap individu baik laki-laki maupun perempuan muslim yang berkemampuan dengan syarat-syarat yang ditentukan.

Zakat firah disyariatkan ditahun kedua hijriah pada bulan Sya'ban. Dalam sejarahnya perintah untuk mengeluarkan zakat tersebut ada 3 fase, yaitu; Fase pertama adalah fase perintah zakat sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW masih di Mekah, cuma waktu itu belum ada ketentuan secara spesifik terkait ukuran dan kapan waktu untuk mengeluarkan zakat tersebut. Fase kedua barulah perintah untuk mengeluarkan zakat fitrah atau shodaqotul fitrah (zakat memberi makan ) yang diturunkan pada tahun kedua tahun hijriyah setelah dirutunkannya perintah untuk berpuasa. Dan pada fase ketiga; pada fase ini turun perintah untuk zakat harta, sebagian ulama berpendapat bahwa perintah ini juga turun di tahun kedua hijriyah.

Berapa Kadar Zakat Fitrah?
Ada perbedaan pendapat mengenai kadar zakaf fitrah ini. Menurut Imam Syafi'i, Imam Malik, dan Imam Ahmad sepakat bahwa kadar Zakat fitrah itu untuk ditunaikan sebesar satu Sha'. Ukuran satu Sha' di Indonesia sendiri dibakukan menjadi setara dengan 2,5 Kg. Adapun bentuk barang yang ditunaikan untuk Zakat fitrah tersebut bisa berupa gandum, kurma, atau makanan yang menjadi pokok makanan di suatu negara tempat tinggal orang yang memiliki kewajiban berzakat. Kalau di Indonesia karena makanan pokoknya adalah nasi, maka benda yang ditunaikan sebagai zakat fitrah adalah beras.

Adapun Imam Hanafi berpendapat, ia membolehkan untuk menggunakan uang untuk membayar zakat fitrah, imana uang tersebut haruslah senilai dengan benda/barang yang dinisbatkan untuk zakat firah. Kalau di Indonesia dengan 2,5Kg beras maka jumlah uang yang digunakan untuk membayar zakat fitrah harus senilai dengan harga beras 2,5 Kg tersebut. Tapi dalam pandangan Imam Hanafi, bahwa ukuran satu sha' itu lebih tinggi dari pendapat Imam Syafii, Malik dan Ahamad yakni apabila membayar zakat menggunakan uang maka patokannya adalah bukan 2,5 Kg melainkan 3,8 Kg beras, hal tersebut diambil hanya untuk kehati-hatian dalam menjalankan ibadah zakat fitrah.

Kapan Waktu Pembayaran Zakat Fitrah?
Waktu melakukan pembayaran Zakat Fitrah yaitu dimulai pada saat matahari terbenam di malam hari raya Idul Fitri sampai waktu hendak pelaksanan sholat ied, ini disebut waktu afdol. Tapi menurut para ulama, tidak ada larangan jika membayar zakat fitrah sebelum waktu tersebut, asalkan terhitung masih dalam bulan suci ramadhan.

Salah satu hadist yang menjelaskan waktu pembayaran Zakat Fitrah, yaitu hadist riwayat Bukhori yang bunyi hadistnya sebagai berikut;




Siapa Yang Berhak Menerima Zakat Fitrah?

Yang dimaksud yang "berhak" disini tak lain adalah orang yang nantinya akan kita beri zakat fitrah. Devinisi yang lain adalah sasaran penerima zakat fitrah. Menurut para ulama yang berhak menerima Zakat fitrah itu adalah orang fakir miskin secara khusus, yaitu orang yang benar-benar miskin. Yang berpendapat seperti ini adalah Imam Malikiyah, Ibnu Tamiyyah, dan Ibnul Qayyim.

Sebagian ulama menyepakati bahwa orang yang berhak menerima zakat fitrah itu adalah orang yang termasuk kedalam 8 golongan seperti yang tertuang dalam surat At-taubah ayat 60. Yang berpendapat bahwa Zakat fitrah boleh diberikan kepada 8 golongan sesuai surat At-taubah ayat 60 tersebut adalah Mazhab Syafiiyah.
SIlahkan Klik Link Di bawah ini kemudian dengarkan dan pahami video tersebut