ASAS
NASIONALITAS DALAM HUKUM AGRARIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEHIDUPAN SEHARI
HARI
1.
Pengertian Asas
Nasionalitas
Asas
nasionalitas adalah asas yang menghendaki bahwa hanya bangsa Indonesia saja yang
dapat mempunyai hubungan hukum sepenuhnya dengan bumi, air , ruang angkasa ,
dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Atau dengan kata lain asas
nasionalitas adalah suatu asas yang menyatakan bahwa hanya warga Negara
Indonesia saja yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai
hubungan dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki
dengan wanita serta sesama warganegara baik asli maupun keturunan. Asas
nasionalisme ini dalam hukum agraria ini diikuti okeh sebagian besar
Negara-negara di dunia, khususnya oleh Negara yang sedang berkembang seperti
Filiphina, Vietnam, Thailand, Malaysia, Indonesia, Mesir, Pakistan, dll. Jadi
tanah itu hanya disediakan untuk warganegara dari Negara-negara yang
bersangkutan. Seperti di Indonesia, asas nasionalisme ini terdapat dalam UUPA
Nomor 5 Tahun 1960 pasal 1 ayat (1)(2) dan (3).
Pasal
1 ayat (1) UUPA, menyatakan bahwa”seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan
tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia”.
Sedangkan dalam pasal 1 ayat(2) UUPA, menyatakan bahwa”seluruh bumi, air dan
rang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah
Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan YME adalah bumi, air, dan ruang
angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional”. Ini berarti bumi,
air, dang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia menjadi hak bagi bangsa
Indonesia, jadi tidak senata-mata menjadi hak daripada pemiliknya saja.
Demikian pula , tanah-tanah didaerah dan pulau-pulau tidak semata-mata menjadi
hak rakyat asli dari daerah atau pulau
yang bersangkutan saja.
Pada
pasal 1 ayat 3 UUPA, dinyatakan bahwa “ hubungan antara bangsa Indonesia dan
bumi ,air serta ruang angkasa termasuk dalam ayat 2 pasal ini adalah hubungan
yang bersifat abadi “. Ini berarti bahwa seelama rakyat Indonesia yang bersatu
sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air, dan ruang angkasa
Indonesia masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu
kekuasaan yang dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut. Oleh sebab
itu, seluruh bumi, air, ruang angkasa seta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya menjadi hak seluruh bangsa Indonesia dalam hubungan yang abadi.
2.
Implmentasi asas nasionalitas
terhadap hak-hak warganegara
Dengan
adanya asas nasionalitas tersebut, terdapat jaminan mengenai hak warga Negara
Indonesia atas kepemilikan tanah maupun yang berhubungan dengan bumi, air dan
ruang angkasa dan kekayaan alam lain
yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian warga Negara asing atau badan
usaha asing tidak mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. Hal ini dapat di
buktikan tentang masalah hak dan kewajiban Warga Negara Asing di Indonesia
tentang kepemilikan tanah yaitu dengan adanya Dasar dari penguasaan tanah oleh
Warga Negara Asing (WNA) dan Badan Hukum Asing (BHA) yang mempunyai perwakilan di Indonesia ,secara
garis besar telah diatur dalam Pasal 41 & Pasal 42 Undang - Undang Pokok
Agraria (UUPA) dan diatur lebih lanjut dalam PP No. 40 tahun 1996 tentang Hak
Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP) atas tanah.
Berdasarkan
peraturan perundangan yang berlaku tersebut, maka Warga Negara Asing (WNA) yang
berkedudukan di Indonesia atau Badan Hukum Asing (BHA) yang memiliki perwakilan
di Indonesia hanya diberi Hak Pakai (HP). Dengan demikian tidak dibenarkan
Warga Negara Asing (WNA) atau Badan Hukum Asing (BHA) memiliki tanah dan
bangunan dengan status Hak Milik (HM). Hubungan hukum antara Warga Negara
Indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing (WNA), serta perbuatan hukum mengenai
tanah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 9 UUPA menyatakan hanya warga
negara Indonesia sajalah yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi,
air dan ruang udara Indonesia.
Dalam
penjelasannya dikatakan hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat mempunyai
hak milik atas tanah. Hak milik kepada orang asing dilarang (Pasal 26 ayat 2
UUPA), dan pelanggaran terhadap pasal ini mengandung sanksi “Batal Demi Hukum.”
Namun demikian UUPA tidak menutup sama sekali kesempatan warga negara asing dan
badan hukum asing untuk mempunyai hak atas tanah di Indonesia. Warga negara
asing dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia, tetapi terbatas, yakni hanya
boleh dengan status hak pakai. Sehingga dari prinsip nasionalitas ini, semakin
jelas kepentingan warga negara Indonesia diatas segala-galanya baik dari segi
ekonomi, sosial, politis dan malahan dari sudut Hankamnas.
Dalam
praktik, tidak sedikit warga negara asing menguasai tanah yang sebelumnya
berstatus Hak Milik di wilayah Propinsi Aceh, khususnya Sabang, dan daerah
lainnya dengan cara melakukan penyelundupan hukum, dimana warga negara asing
melakukan kesepakatan atau perjanjian atau perikatan jual beli dengan warga
negara Indonesia pemegang hak milik atas tanah yang diperjanjikan. Ada juga
dengan modus Warga Negara Indonesia memberikan kewenangan melalui ’surat kuasa’
kepada Warga Negara Asing untuk menguasai dan melakukan perbuatan hukum di atas
tanah hak milik tersebut. Secara administratif tanah hak milik dimaksud
terdaftar atas nama Warga Negara Indonesia, tetapi fakta di lapangan Warga
Negara Asing-lah yang menguasai dan melakukan aktifitas di atas tanah hak milik
tersebut.
Tindakan
demikian secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang, dalam hal ini UUPA,
dan karena itu merupakan tindakan yang disebut penyelundupan hukum. Coba periksa
Pasal 26 (ayat 2) UUPA, yang menyatakan setiap jual beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada
orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum,
adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara.
Akan
tetapi, pemerintah juga telah menerbitkan PP No. 41 tahun 1996 yang mengatur
tentang pemilikan Rumah Tinggal atau hunian oleh WNA. Peraturan Pemerintah ini
berisi antara lain:
WNA
yang berkedudukan di Indonesia diperkenankan untuk memiliki 1 rumah tinggal
(Satuan Rumah Susun) yang dibangun di atas tanah Hak Pakai. Rumah yang berdiri
di atas tanah Hak Pakai (HP) tersebut dapat berasal dari HP atas Tanah Negara
atau HP yang berasal dari tanah Hak Milik (HM) yang diberikan oleh Pemegang Hak
Milik. Pemberian Hak Pakai (HP) oleh pemegang Hak Milik (HM) ini diberikan
dengan akta PPAT & perjanjiannya harus dicatat dalam Buku Tanah dan
Sertifikat Hak Milik atas tanah. Penguasaan tanah oleh orang asing dan badan
hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia diatur dalam Pasal 41 dan 42
UUPA. Lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 40 tahun
1996entang Hak Guna Usaha, hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah dan PP
nomor 41 tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh
Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.
Dalam
PP Nomor 41 tahun 1996 terdapat syarat, orang asing yang dapat mempunyai
rumah tinggal di Indonesia adalah orang
asing yang kehadirannya memberikan manfaat bagi pembangunan nasional.
Orang
asing tersebut dibatasi boleh memiliki satu rumah tempat tinggal berupa rumah
yang berdiri sendiri, atau satuan rumah susun, yang dibangun diatas tanah hak
pakai. Hak pakai tersebut diberikan paling lama untuk jangka waktu 25 tahun.
Berbeda dengan jenis hak berjangka waktu lainnya seperti hak guna bangunan, hak
guna usaha dan hak pakai (yang bukan untuk orang asing) dapat diperpanjang
untuk waktu tertentu setelah jangka waktu pemberian pertama berakhir. Hak Pakai
rumah tinggal untuk orang asing tidak dapat diperpanjang, namun dapat
diperbarui untuk jangka waktu 20 tahun dengan ketentuan orang asing tersebut
masih berkedudukan di Indonesia.
Jangka
waktu ’hanya’ 25 (dua puluh lima) tahun tersebut dinilai banyak kalangan sudah
tidak kondusif dengan perkembangan dunia global sekarang ini, tidak menarik
minat orang asing untuk membeli rumah di Indonesia. Sebagai perbandingan,
Singapura membolehkan warga negara asing untuk memiliki bangunan komersial,
hotel dan hunian dengan jangka waktu hak tanah 99 tahun, dan untuk industri
diberikan 60 tahun. Di Thailand, hak sewa menyewa dengan warga negara asing berlaku
selama 30 tahun dengan perpanjangan 30 tahun. Sedangkan di Kamboja antara 70
sampai dengan 99 tahun.
Ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah ini membatasi pengertian rumah tempat tinggal yang
dapat dimiliki orang asing. Rumah tinggal yang dapat dimiliki WNA adalah yang
berdiri diatas ’hak pakai atas tanah negara’ atau ’hak pakai diatas hak milik’.
Khusus yang diatas hak milik didasarkan pada perjanjian dengan pemegang hak
milik yang dibuat dengan akta PPAT (jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
BPN nomor 7 tahun 1996 dan nomor 8 tahun 1996). Dalam PP ini tidak disebut
mengenai rumah yang berdiri di atas hak pakai yang berasal dari hak
pengelolaan.
trimakasih atas informasinya
BalasHapusTerimakasih infonya
BalasHapusMAKASIH BANG KEMBANGKAN TERUS
BalasHapus