Sabtu, 09 Juni 2012

Asas Hak Menguasai Negara (hukum agraria)


Asas Hak Menguasai Negara

A.    Dasar hukum asas hak menguasai Negara
Hak menguasai tanah oleh negara bersumber dari kekuasaan yang melekat pada negara, sebagaimana tercermin dalam ketentuan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok pokok kemakmuran rakyat, sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pernyataan tersebut menjelaskan dua hal, yaitu bahwa secara konstitusional Negara memiliki legitimasi yang kuat untuk menguasai tanah sebagai bagian dari bumi, namun penguasaan tersebut harus dalam kerangka untuk kemakmuran rakyat.
Penjabaran lebih jauh dari hak menguasai tanah oleh negara, terdapat pada pasal 2 Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. asas ini sebenarnya memiliki semangat pengganti asas domein verklaring yang berlaku pada masa colonial belanda, yang ternyata hanya memberikan keuntungan pada pemerintahan colonial belanda pada masa itu.1 Hak menguasai dari Negara memberi wewenang kepada Negara untuk :
a.       Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah.
Hak-hak yang mengenai pengaturan peruntukan tersebut dijabarkan dalam berbagai produk peraturan dan perundang-undangan lainnya, dalam bidang-bidang seperti :
1)      Penatagunaan tanah
 

1 Triana Rejekiningsih, Hukum Agrarian Bagi Warganegara, Surakarta, 2011, hal. 37
2)      Pengaturan Tata ruang
3)      Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
b.      Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah.
Hak-hak yang mengenai pengaturan hubungan hukum tersebut dijabarkan dalam berbagai produk peraturan dan perundang-undangan lainnya, dalam bidang-bidang seperti :
1)      Pembatasan jumlah bidang dan luas tanah yang boleh dikuasai (landreform)
2)      Pengaturan hak pengelolaan tanah
c.       Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum atas tanah
Hak-hak yang mengenai pengaturan hubungan hukum dan perbuatan hukum dijabarkan dalam berbagai produk peraturan dan perundang-undangan lainnya, dalam bidang-bidang seperti
1)      Pendaftaran tanah, yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya (Ps1 1yat 1 PP 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah)
2)      Hak tanggungan
Berdasarkan UU no. 4 tahun 1996, hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang meliputi hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan. Hak tanggungan dapat digolongkan ke dalam hubungan hukum antar orang dan perbuatan hukum atas tanah, karena pada dasarnya hak tanggungan adalah merupakan ikutan (assesoris) dari suatu perikatan pokok, seperti hubungan hutang piutang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan tersebut.
Penguasaan tanah oleh negara dalam konteks di atas adalah penguasaan yang otoritasnya menimbulkan tanggungjawab, yaitu untuk kemakmuran rakyat. Di sisi lain, rakyat juga dapat memiliki hak atas tanah. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial yang melekat pada kepemilikan tanah tersebut. Dengan perkataan lain hubungan individu dengan tanah adalah hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban. Sedangkan hubungan negara dengan tanah melahirkan kewenangan dan tanggung jawab.
Dinamika pembangungan nasional, seringkali menuntut Negara untuk melakukan penataan kembali atas tata ruang termasuk pemanfaatan tanah sedemikian rupa yang meminta masyarakat untuk menyerahkan tanahnya kepada Negara untuk dipergunakan bgai kepentingan umum. Pembangunan prasarana jalan raya, kawasan industri, pertanian dan sebagainya adalah beberapa di antara dasar legitimasi yang digunakan oleh negara dalam pengambilalihan tanah masyarakat.
Turunan dari UUPA yang secara eksplisit dibunyikan pada Undang-undang lainnya tentang Hak menguasai dari negara, antara lain tercantum pada :
a.       UU no. 5 tahun 1967 tentang UU Pokok Kehutanan.
Pasal 5 ayat 2 UU Pokok Kehutanan redaksi dan konstruksinya persis seperti pasal 2 ayat 2 UUPA, hanya saja tidak menggunakan UUPA sebagai salah satu referensinya.
b.      UU no. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Pertambangan pada pasal 1 ayat 1 yang mengatur mengenai penguasaan bahan galian
c.       UU no. 3 tahun 1972 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Transmigrasi
d.      UU no. 11 tahun 1974 tentang Pengairan
e.       UU no. 23 tahun 1997 tentang Penataan Lingkungan Hidup
f.       UU no. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
g.      UU no. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Prof. Maria SW Sumardjono mengatakan bahwa kewenangan negara ini harus dibatasi dua hal: pertama, oleh UUD 1945. Bahwa hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Peraturan yang bias terhadap suatu kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain adalah salah satu bentuk pelanggaran tersebut. Seseorang yang melepas haknya harus mendapat perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanan tersebut. Kedua, pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan kewenangan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan. Pendelegasian kepada swasta yang merupakan bagian dari masyarakat akan menimbulkan konflik kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan.
Dari uraian diatas, maka kita mdapat dengan mengetahui bahwa ada unsur keadilan dalam sudut pandang Hobbes dengan adanya penguasaan oleh negara. Menurut beliau, tidak ada keadilan alamiah yang lebih tinggi daripada hukum positive. Jika dikaitkan lebih jauh dengan teori keadilannya Hobbes dengan Hak menguasai negara terhadap pertambangan yang tercantum pada pasal 33 tersebut, maka akan semakin jelas titik tautnya pada suatu konsep belaiu “ Untuk tercapainya perdamaian dan ketertiban dalam masyarakat, orang-orang harus menyerahkan kebanyakan hak-hak alamiahnya kepada suatu kekuatan yang berdaulat dalam negara”.2
B.     Implementasi di masyarakat
Otoritas negara dalam penguasaan hak atas tanah bersumber dari Undang-undang Dasar atau konstitusi Negara. Pengertian yang secara normatif diakui dalam ilmu hukum adalah bahwa masyarakat secara sukarela menyerahkan sebagian dari hak-hak kemerdekaannya untuk diatur oleh Negara dan dikembalikan lagi kepada masyarakat untuk menjaga keteraturan, perlindungan dan kemakmuran rakyat. Negara atau Pemerintah harus memiliki sense of public service, sedangkan masyarakat harus memiliki the duty of public obedience. Dalam keseimbangan yang demikian, maka tujuan penyerahan sebagian hak-hak masyarakat kepada negara memperoleh legitimasi politik dan legitimasi sosial.


Humambalya. 2011. Hak Menguasai Negara (yang menggila). Diakses dari http://humambalya .wordpress.com/2011/02/12/hak-menguasai-negara-yang-menggila/ pada11 Oktober 2011
Otoritas Negara, dalam hal ini Negara Republik Indonesia dalam penguasaan hak atas tanah bersumber dari konstitusi, dimana dalam pembukaan atau mukadimah undang-undang dasar dinyatakan bahwa salah satu tugas Negara yang membentuk Pemerintah Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan melindungi segenap bangsa Indonesia. Kemudian, dalam pasal 33 Undang-undang dasar 1945, ditegaskan dan dideklarasikan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah dikuasai oleh Negara. Pasal tersebut tidak mengikutkan wilayah angkasa, namun berdasarkan konvensi dan hukum internasional wilayah angkasa sampai batas ketinggian tertentu adalah juga termasuk dalam yurisdiksi batas kedaulatan suatu negara.
Sebagai pemegang kekuasan, negara berwenang memberikan kuasa baik kepada badan usaha maupun perorangan untuk melakukan pengusahaan/pengelolaan atas bahan galian dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia. Misalnya dalam bentuk pembuatan kontrak karya pertambangan yang memuat kedudukan seimbang antara negara selaku pemilik bahan galian (prinsipal) dengan investor (kontraktor pertambangan). Oleh karena itu, kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kota/kabupaten sebagai wakil negara tidak sebatas dalam bentuk pemberian izin saja, melainkan juga turut serta mengawasi semua bentuk pengusahaan pertambangan. Jika hal ini tidak dapat berjalan dengan baik, pemerintah dapat diminta pertanggungjawabannya dan harus bertanggung jawab.
Lemahnya pengawasan dari pemerintah khususnya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah (Otda) sebagaimana diatur UU No 32 Tahun 2004, selalu menarik untuk dilakukan kajian mengenai pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian tambang bagi kesejahteraan masyarakat daerah yang berimplikasi kepada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Namun kenyataannya, hal ini tidak dibarengi pemahaman oleh pemimpin daerah. Seperti adanya kesan pemimpin daerah hanya kejar setor dalam mengeluarkan izin tanpa dibarengi sistem pengawasan yang jelas. Pengawasan yang lemah itu terlihat dari beberapa kasus. Misalnya, pemegang izin KP tidak pernah melaporkan secara pasti produksi batu baranya. Hal ini berakibat pada pembayaran royalitas kepada negara tidak terpantau. Juga adanya penambangan yang tidak sesuai praktik pertambangan yang baik, seperti tingginya tingkat kerusakan lingkungan, adanya izin KP yang tumpang tindih, digunakannya jalan negara sebagai prasarana angkutan batu bara, maupun banyaknya izin KP dan PKP2B (Perjanjian Pengusahaan Pertambangan Batu Bara) yang masuk dalam kawasan hutan dan hutan lindung. Di samping itu, lemahnya perlindungan terhadap tanah perkebunan rakyat maupun perlindungan terhadap Hak Ulayat masyarakat adat, pengelolaan, perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup dalam usaha pertambangan. Juga tidak dimanfaatkannya pengembangan wilayah pada masyarakat lokal di sekitar usaha pertambangan.3
1.      Penguasaan Sumber Daya Alam Kaltim.
Kaltim sebagai contoh propinsi yang kaya kedua setelah papua dalam sumber daya alam, telah menerima akibat dari kebijakaan penguasaan negara terhadap sumber daya alam. Ekspoitasi besar-besar hutan dengan UU No.5 Tahun 1967, menjadikan kaltim jadi era banjir kap hutan. Sehingga dapat menopang perekonomian dinegeri ini. Hutan dibabat habis tanpa batas, tanpa memperdulikan daya dukung lingkungan dan kerusakan ekosistem. Siapa yang diutungkan dan menikmati sumber daya hutan yang begitu besar, bukan rakyat Kaltim, mereka tetap miskin, tergusur, dipinggirkan dari pengelolaan sumber daya alamnya, yang jelas pemilik modal/swasta/investor yang bertindak atas nama negara. Kenapa? Mereka yang diuntungakan oleh kebijakaan negara dalam hal ini penguasaan negara atas sumber daya alam, itu diberikan oleh swasta dalam pengelolaan. Sumber daya alam seharusnya rana negara dalam pemanfaatan, namun diberikan pada rana privat.
Namun upaya eksploitasi akan sumber daya alam Kaltim belum selesai, setalah hutan kami habis, datang era baru sekarang. Pertambangan batu bara, dengan sebutan era kap batubara. telah menjadi sektor andalan dalam perekonomian negara ini sekarang. tanah, hutan, lahan semua untuk usaha pertambangan. Pada tahun 2009 ini, Kaltim sudah ada 33 Perjanjian Karya Penguasahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang ijin dikeluarkan Pemerintah Pusat dan 1.212 ijin KP yang diterbitkan Pemerintah Daerah di Kaltim (Data: Dinas Pertambangan Propinsi Kaltim, Maret 2009).
3 Ambon. 2006. (zamanku) Memahami Hak Bangsa Dan Hak Menguasai Dari Negara. Diakses dari http://www.opensubscriber.com/message/zamanku@yahoogroups.com/5696073.html pada 6 oktober 2011



Ada 3,12 hektar lahan dirubah menjadi konsesi tambang dengan perijinan kuasa pertambangan. Kebijakan daerah yang benar-benar berbahaya bagi masa depan lingkungan. Obral ijin kuasa pertambangan saat ini telah menjadikan Kaltim era “ banjir kap batubara”. Ini bentuk keserakan dari pemerintah yang memandang kaltim sebagai tambang pembiayaan nasional, tanpa melihat bencana ekologi generasi yang akan datang. Dalam kajian legal spirit desentralisasi dalam penguasaan negara atas sumber daya alam pasca UU Berlakunya UU No.22 Tahun 1999 jo UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah menjadi pintu awal dimulainya suatu usaha untuk membangun daerahnya dengan memanfaatkan potensi daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan. Pada hakekatnya otonomi daerah yang ingin dibangun merupakan upaya untuk mendekatkan sistem pengelolaan sumber alam pada masyarakat di daerah, agar masyarakat yang bersangkutan dapat merasakan manfaat ekonomi dari eskploitasi sumber daya alam yang didaerahnya. Demikian juga pengalaman dari penguasaan sumber daya alam yang sentralistik di masa lalu, telah memberikan pelajaran berharga bagi pemerintah yang lebih banyak berpihak pada pemilik modal yang besar dan investor-investor baik dari dalam maupun luar negeri dengan menggunkan teknologi maju justru menimbulkan kerusakan dan kehancuran lingkungan yang tidak terkendali dan konflik.
Secara konseptual subtansansi perundang-undangan yang berkaitan dengan hubungan hukum penguasaan sumber daya alam, ini tidak sesuai lagi dengan tujuan awalnya, hal ini karena ketentuan yang terdapat didalamnya telah memberikan kekuasaaan yang sangat besar kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesutu yang berkaitan dengaan sumber daya alam, sehingga kekuasaan yang dimiliki oleh negara lambat alut menegasikan keberadaan masyarakat dan yang ada kepentingan modal yang didahulu, bukan kepentingan rakyat atau masyarakat sekitar sumber daya alam. Kedepan dalam penguasaan negara terhadap sumber daya alam, rakyat yang seharusnya dilibat, merasakan manfaatkan, sehingga istilah kemakmuran yang ada Pasal 33 UUD dapat dirasakan masyarakat, khususnya yang kaya sumber daya alam seperti Kaltim.  4 
   
4 Kompas, 2010.  Hak menguasai Negara atas kaltim. Diaksas dari. http://hukum. kompasiana.com/2010/07/08/hak-penguasaan-negara-atas-sda-di-kaltim/ pada 11 0ktober 2011


2.      Hak menguasai Negara di bidang pertambangan
Pemaknaan hak menguasai negara dalam konteks hak atas tanah yang pengaturannya dapat dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum, dengan makna hak menguasai negara atas bahan galian, harus benar-benar dibedakan. Adanya pengaburan makna hak menguasai negara atas bahan galian selama ini, secara sadar atau tidak, sesungguhnya telah mendorong pada kondisi pemanfaatan bahan galian yang tidak efisien, karena lemahnya kendali negara/pemerintah dalam hal pengelolaan bahan galian, yang diusahakan oleh negara.
Alasan ini tidaklah berlebihan, contoh konkret dari persoalan lemahnya kendali negara dalam konteks pertambangan adalah bagaimana kita (baca: negara/pemerintah) kesulitan memperoleh pasokan gas alam, sebagai sumber energi murah untuk kepentingan pembangkit listrik, sehingga untuk memperoleh 30% bagian, bagi kepentingan PLN saja, negara/pemerintah harus melalui tahapan negosiasi yang panjang dengan mitra kerja kontrak karya, yang katanya bahwa melalui kontrak karya kita diuntungkan karena kesetaraannya dalam melakukan kerja sama. Sungguh suatu ironi, dalam hal negara ingin memperoleh sumber energi yang murah saja harus setengah mengemis-ngemis, padahal dalam ketentuan konstitusi negara dikatakan bahwa negara menguasai seluruh kekayaan alam, tapi pada kenyataan, giliran saat Negara membutuhkan gas demi kepentingan dan menyangkut hajat hidup orang banyak, ternyata tidak mudah.
Kenyataan ini merupakan fakta, bahwa sesungguhnya kendali negara/pemerintah sangat lemah dalam penguasaan dan pengelolaan bahwa galian, dan ini merupakan bukti harus segera diakhirinya doktrin hak menguasai negara hanya sebatas melakukan pengaturan semata. Lebih jauh, bahwa konsep hak menguasai negara yang dimaknai negara hanya sebatas melakukan pengaturan semata, merupakan konsep yang melanggar dan mengkhianati maksud luhur ketentuan Pasal 33 ayat (3), dengan cara melakukan intrepretasi sepotong-potong dan tidak utuh.
Pemahaman keliru atas pemaknaan yang telah berjalan puluhan tahun itu, secara konkret berimplikasi pada tidak maksimalnya perolehan negara secara ekonomis yang dapat diterima negara dan dinikmati rakyat. Ketidakutuhan pemahaman hak menguasai negara, yaitu karena dilepaskan dari aspek dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dari satu kalimat utuh dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) dimaksud. Pendapat agak moderat akan makna dari hak menguasai negara tetapi kolerasinya masih dalam koridor hak menguasai negara bidang tanah, dikemukakan oleh Bagir Manan, yaitu:
Semestinya makna "hak menguasai oleh negara". Pertama; hak ini harus dilihat sebagai anuresis dari asas domein (milik, mutlak) yang memberi wewenang kepada negara melakukan tindakan kepemilikan yang bertentangan dengan asas kepunyaan menurut adat istiadat, Hak kepunyaan didasarkan pada asas komunal dan penguasa hanya sebagai pengatur belaka. Kedua; hak menguasai negara tidak boleh dilepaskan dari tujuan, yaitu demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara harus memberikan hak dulu kepada rakyat yang telah secara nyata dengan iktikad baik memanfaatkan tanah. 5


















5              http://www.indolawcenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1515%3Ahak-menguasai-negara-di-bidang-pertambangan-2&catid=174%3Ahukum-pertambangan&Itemid=237

1 komentar: