BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Otonomi
daerah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada
Daerah. Keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah sangat ditentukan oleh
kesiapan dan kemampuan daerah itu sendiri dalam mengelola dan memberdayakan
seluruh potensi dan sumberdaya yang tersedia.
Masa
transisi sistem pemerintahan daerah yang ditandai dengan keluarnya UU No. 22
Th. 1999 telah membawa beberapa perubahan yang mendasar. Pertama,
daerah yang sebelum berlakunya UU No. 22 Th. 1999, hanya memiliki otonomi nyata
dan bertanggung jawab saja, dengan berlakunya UU No. 22 Th. 1999 menjadi
memiliki otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Kedua, sejalan
dengan semakin besarnya wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki oleh
pemerintah daerah perlu adanya aparat birokrasi yang semakin bertanggung jawab
pula.
Dalam
kaitan dengan aparat birokrasi yang bertanggung jawab, ada isu sentral yang
mencuat ke permukaan yaitu isu good governance (Manan, 2004:
34). Muara dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terselenggaranya pemerintahan
yang good governance. Good governance akan
menghasilkan birokrasi yang handal dan profesional, efisien, produktif, serta
memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.
Untuk
membahas lebih lanjut mengenai good governance perlu diketahui
terlebih dahulu pengertian dari good governance. Di dalam bahasa
Indonesia good governance diterjemahkan secara
berbeda-beda. Ada yang menerjemahkan good governance sebagai
tata pemerintahan yang baik. Ada juga yang menerjemahkan sebagai
penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Akan tetapi ada pula yang
menerjemahkan good governance sebagai pemerintahan yang
amanah. Jika good governance diterjemahkan sebagai
penyelenggaraan pemerintahan yang amanah, maka good governance dapat
didefinisikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan secara partisipatif,
efektif, jujur, adil, transparan dan bertanggungjawab kepada semua level
pemerintahan (Soffian Effendi dalam Azhari, dkk., 2002: 187).
Secara
umum dapat dikatakan good governance menunjuk pada proses
pengelolaan pemerintahan melalui keterlibatan stakeholders yang
luas dalam bidang ekonomi, sosial dan politik suatu negara dan pendayagunaan
sumber daya alam, keuangan dan manusia menurut kepentingan semua pihak dengan
cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, persamaan,
efisiensi, transparansi dan akuntabilitas.
Good governance merupakan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang universal,
karena itu seharusnya diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan
di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Upaya
menjalankan prinsip-prinsip good governance perlu dilakukan
dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Apalagi dengan telah
diundangkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah.
Ada masalah
birokrasi yang dihadapi semua Pemerintah Daerah sehubungan dengan
pelaksanaan good governance, yaitu belum melembaganya
karakteristik good governance di dalam pemerintahan daerah,
baik dari segi struktur dan kultur serta nomenklatur program yang mendukungnya.
Sampai sekarang penerapan kaidah good governance di pemerintah
daerah masih bersifat sloganistik.
Fakta
yang sangat mencolok sebagai bukti masih lemahnya good governance selama
ini adalah tingginya korupsi yang terjadi. Korupsi dapat dikatakan merajalela
terutama di kalangan birokrasi pada institusi publik atau lembaga pemerintah
baik departemen maupun lembaga bukan departemen. Korupsi biasanya yang terjadi
disertai dengan tindakan kolusi dan nepotisme. Kemudian di Indonesia dikenal
dengan istilah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Di
Yogyakarta masalah good governance juga menjadi masalah yang
hangat dibicarakan. Banyak masalah yang merupakan pelanggaran prinsip-prinsipgood
governance, diantaranya masalah kasus korupsi dalam pembangunan gedung
JEC (Jogja Expo Center), masalah korupsi dalam skandal
asuransi (asuransi gate), masalah janji untuk mengadakan relokasi
dan ganti kerugian kepada PKL (Pedagang Kaki Lima) yang digusur dalam proyek
pembangunan jalan di Kabupaten Sleman yang tidak ditepati, dan banyaknya kasus
indisipliner pegawai yang ada di Pemda Provinsi DIY.
Adanya
kasus-kasus korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Pemda Provinsi DIY
menunjukkan bahwa para pegawai Pemda Provinsi DIY masih belum melaksanakan
prinsip-prinsip good governance dengan baik. Berdasarkan latar
belakang di atas, penulis tertarik untuk mengetahui pelaksanaan good
governance pada Pemerintah Propinsi DIY. Untuk itu ditetapkan judul
penelitianGOOD GOVERNANCE PADA PEMERINTAH PROVINSI DIY.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, ada dua masalah yang diteliti dalam penelitian
ini, yaitu:
1. Mengapa
pelaksanaan prinsip-prinsip good governance yang terdiri dari
prinsip partisipasi, penegakan hukum, transparansi, kesetaraan, daya tanggap,
wawasan ke depan, akuntabilitas, serta prinsip efisiensi dan efektivitas pada
Pemerintah Provinsi DIY masih belum optimal?
2. Kendala-kendala
apa yang dihadapi Pemerintah Provinsi DIY dalam pelaksanaan prinsip good
governance di Provinsi DIY dan bagaimana cara mengatasinya?
C. Tujuan
Penelitian
Ada dua
tujuan penelitian ini, yaitu:
1. Untuk
mengetahui alasan mengapa masih belum optimalnya pelaksanaan
prinsip-prinsip good governance dalam Pemerintah Provinsi DIY
yang terdiri dari prinsip partisipasi, penegakan hukum, transparansi,
kesetaraan, daya tanggap, wawasan ke depan, akuntabilitas, serta prinsip
efisiensi dan efektivitas pada Pemerintah Provinsi DIY.
2. Untuk
mengetahui kendala-kendala yang dihadapi Pemerintah Provinsi DIY dalam
pelaksanaan prinsip good governance di Provinsi DIY dan cara
mengatasinya.
D. Sistematika Penulisan
Dalam
penulisan tesis ini digunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
Tesis ini terdiri dari empat bab dengan sistematika BAB
I PENDAHULUAN menguraikan tentang latar belakang permasalahan yang diteliti,
kerangka teori yang digunakan dalam pembahasan dan metode penelitian. BAB II
GAMBARAN TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH, menguraikan tentang aspek-aspek
pemerintah daerah menurut UU No. 22 Th. 1999. BAB III ANALISIS TENTANG
GOOD GOVERNANCE PADA PEMERINTAH PROVINSI DIY, menguraikan tentang data dan
analisis data yang diperoleh dalam penelitian. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN,
bagian ini merangkum hasil penelitian menjadi sebuah kesimpulan yang merupakan
jawaban dari pertanyaan penelitian serta memuat saran-saran yang ditujukan
kepada berbagai pihak yang terkait.
E. Kerangka Teori
1. Good
Governance
Tata kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan
suatu konsep yang akhir-akhir ini dipergunakan secara reguler dalam ilmu
politik dan administrasi publik. Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep
dan terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi
manusia, dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Pada akhir dasa warsa
yang lalu, konsep good governance ini lebih dekat dipergunakan
dalam reformasi sektor publik. Di dalam disiplin atau profesi manajemen publik
konsep ini dipandang sebagai suatu aspek dalam paradigma baru ilmu administrasi
publik. Paradigma baru ini menekankan pada peranan manajer publik agar
memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat,
mendorong meningkatkan otonomi manajerial terutama mengurangi campur tangan
kontrol yang dilakukan oleh pemerintah pusat, transparansi, akuntabilitas
publik, dan menciptakan pengelolaan manajerial yang bersih bebas dari korupsi
(Thoha, 2004: 78).
Sejumlah perspektif muncul dari paradigma baru ini dan mendorong
ramainya diskusi dan perdebatan di arena politik dan akademisi. Di antara
perspektif yang berkaitan dengan struktur pemerintahan yang timbul antara lain
(Thoha, 2004: 78):
a. Hubungan
antara pemerintah dengan pasar.
b. Hubungan
antara pemerintah dengan rakyatnya.
c. Hubungan
antara pemerintah dengan organisasi voluntary dan
sektor privat.
d. Hubungan
antara pejabat-pejabat yang dipilih (politisi) dan pejabat-pejabat yang
diangkat (pejabat birokrat).
e. Hubungan
antara lembaga pemerintahan daerah dengan penduduk perkotaan dan pedesaan.
f. Hubungan
antara legislatif dan eksekutif.
g. Hubungan
pemerintah nasional dengan lembaga-lembaga internasional.
Dalam menganalisis perspektif ini banyak para praktisi dan
teoretisi dalam bidang administrasi publik merumuskan berbagai prosedur dan
proses yang bisa dipergunakan untuk mencapai dan mengidentifikasikan
prinsip-prinsip dan asumsi-asumsi dari tata kepemerintahan yang baik. Sementara
itu negara donor dan lembaga-lembaga multilateral telah mengambil peran yang
mengemuka (a leading role) dalam merumuskan good
governance. Salah satunya ialah UNDP.
United Nations Development Programme (UNDP) merumuskan istilahgovernance sebagai
suatu exercise dari kewenangan politik, ekonomi, dan
administrasi untuk menata, mengatur dan mengelola masalah-masalah sosialnya
(UNDP, 1997) Istilah governance menunjukkan suatu proses di
mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan
politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk
menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan
demikian jelas sekali, kemampuan suatu negara mencapai tujuan-tujuan
pembangunan itu sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahannya di mana
pemerintah melakukan interaksi dengan organisasi-organisasi komersial dan civil
society.
Karim
(2003: 45) menyatakan ada 5 prinsip good governance, yaitu
transparansi, kesetaraan, daya tanggap, akuntabilitas, dan pengawasan. Akan
tetapi dalam situs http://www.goodgovernance-orid disebutkan 8
buah prinsip good governance yang akan diuraikan berikut ini.
1.1. Partisipasi
Prinsip
partisipasi mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan
pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut
Jewell & Siegall (1998: 67) partisipasi adalah keterlibatan anggota
organisasi di dalam semua kegiatan organisasi. Di lain pihak Handoko (1998: 31)
menyatakan partisipasi merupakan tindakan ikut serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan di dalam organisasi.
Partisipasi
bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang diambil mencerminkan
aspirasi masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi berbagai isu yang ada,
pemerintah daerah menyediakan saluran komunikasi agar masyarakat dapat
mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini meliputi pertemuan umum, temu
wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat secara tertulis. Bentuk lain untuk
merangsang keterlibatan masyarakat adalah melalui perencanaan partisipatif
untuk menyiapkan agenda pembangunan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara
partisipatif dan mekanisme konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral.
Instrumen
dasar partisipasi adalah peraturan yang menjamin hak untuk menyampaikan
pendapat dalam proses pengambilan keputusan, sedangkan instrumen-instrumen
pendukung adalah pedoman-pedoman pemerintahan partisipatif yang mengakomodasi
hak penyampaian pendapat dalam segala proses perumusan kebijakan dan peraturan,
proses penyusunan strategi pembangunan, tata-ruang, program pembangunan,
penganggaran, pengadaan dan pemantauan.
Menurut Jeff dan Shah (1998: 67) good governance digunakan
untuk melihat partisipasi melalui:
Tingkat kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah, jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam
pembangunan daerah, tingkat kuantitas dan kualitas masukan (kritik dan saran)
untuk pembangunan daerah dan terjadinya perubahan sikap masyarakat menjadi
lebih peduli terhadap setiap langkah pembangunan.
1.2. Penegakan Hukum
Penegakan
hukum adalah pelaksanaan semua ketentuan hukum dengan konsisten tanpa memandang
subjek dari hukum itu (Satrio, 1996: 92). Prinsip penegakan hukum mewujudkan
adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa kecuali, menjunjung
tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Berdasarkan
kewenangannya, pemerintah daerah harus mendukung tegaknya supremasi hukum
dengan melakukan berbagai penyuluhan peraturan perundang-undangan dan
menghidupkan kembali nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Di
samping itu pemerintah daerah perlu mengupayakan peraturan daerah yang
bijaksana dan efektif, serta didukung penegakan hukum yang adil dan tepat.
Pemerintah daerah, DRPD maupun masyarakat perlu menghilangkan kebiasaan yang
dapat menimbulkan KKN.
Instrumen
dasar penegakan hukum adalah peraturan perundang-undangan yang ada, dengan
komitmen politik terhadap penegakan hukum maupun keterpaduan dari sistem
yuridis (kepolisian, pengadilan dan kejaksaan), sedangkan instrumen-instrumen
pendukung adalah penyuluhan dan fasilitas ombudsman.
Menurut Jeff dan Shah (1998: 68) indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur penegakan
hukum, yaitu:
Berkurangnya praktek
KKN dan pelanggaran hukum, meningkatnya (kecepatan dan kepastian) proses
penegakan hukum, berlakunya nilai/norma di masyarakat (living law) dan
adanya kepercayaan masyarakat pada aparat penegak hukum sebagai pembela
kebenaran.
1.3. Transparansi
Transparansi
adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh
pemerintah (Notodisoerjo, 2002: 129). Prinsip transparansi menciptakan
kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan
informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan
memadai.
Informasi
adalah suatu kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah daerah perlu
proaktif memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang
disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah daerah perlu mendayagunakan
berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur, leaflet, pengumuman melalui
koran, radio serta televisi lokal. Pemerintah daerah perlu menyiapkan kebijakan
yang jelas tentang cara mendapatkan informasi. Kebijakan ini akan memperjelas
bentuk informasi yang dapat diakses masyarakat ataupun bentuk informasi yang
bersifat rahasia, bagaimana cara mendapatkan informasi, lama waktu mendapatkan
informasi serta prosedur pengaduan apabila informasi tidak sampai kepada
masyarakat.
Instrumen
dasar dari transparansi adalah peraturan yang menjamin hak untuk mendapatkan
informasi, sedangkan instrumen-instrumen pendukung adalah fasilitas database dan
sarana informasi dan komunikasi dan petunjuk penyebarluasan produk-produk dan
informasi yang ada di penyelenggara pemerintah, maupun prosedur pengaduan.
Menurut Jeff dan Shah (1998: 68) indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur transparansi, yaitu:
Bertambahnya wawasan
dan pengetahuan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Meningkatnya
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan, meningkat-nya jumlah masyarakat
yang berpartisipasi dalam pembangunan daerahnya dan berkurangnya pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan.
1.4. Kesetaraan
Kesetaraan
adalah perlakuan yang sama kepada semua unsur tanpa memandang atribut yang
menempel pada subyek tersebut (Prasetya, 2001: 78). Prinsip kesetaraan
menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui
penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang
akurat dan memadai.
Informasi
adalah suatu kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pengelolaan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut pemerintah daerah perlu
proaktif memberikan informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang
disediakannya kepada masyarakat. Pemerintah daerah perlu mendayagunakan
berbagai jalur komunikasi seperti melalui brosur, leaflet,
pengumuman melalui koran, radio serta televisi lokal. Pemerintah daerah perlu
menyiapkan kebijakan yang jelas tentang cara mendapatkan informasi. Kebijakan
ini akan memperjelas bentuk informasi yang dapat diakses masyarakat ataupun
bentuk informasi yang bersifat rahasia, bagaimana cara mendapatkan informasi,
lama waktu mendapatkan informasi serta prosedur pengaduan apabila informasi
tidak sampai kepada masyarakat.
Instrumen
dasar dari transparansi adalah peraturan yang menjamin hak untuk mendapatkan
informasi, sedangkan instrumen-instrumen pendukung adalah fasilitas database dan
sarana informasi dan komunikasi dan petunjuk penyebarluasan produk-produk dan
informasi yang ada di penyelenggara pemerintah, maupun prosedur pengaduan.
Menurut Jeff dan Shah (1998: 69) indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur kesetaraan, yaitu:
Bertambahnya wawasan
dan pengetahuan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan, meningkatnya
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan, meningkatnya jumlah masyarakat
yang berpartisipasi dalam pembangunan daerahnya dan berkurangnya pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan.
1.5. Daya Tanggap
Daya
tanggap (responsiveness) merupakan kemampu-an untuk memberikan
reaksi yang cepat dan tepat dalam situasi khusus (Harsono, 1999: 90). Prinsip
ini meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi
masyarakat, tanpa kecuali. Pemerintah daerah perlu membangun jalur komunikasi
untuk menampung aspirasi masyarakat dalam hal penyusunan kebijakan. Ini dapat
berupa forum masyarakat, talk show, layanan hotline,
prosedur komplain. Sebagai fungsi pelayan masyarakat, pemerintah daerah akan
mengoptimalkan pendekatan kemasyarakatan dan secara periodik mengumpulkan
pendapat masyarakat.
Instrumen
dasar daya tanggap adalah komitmen politik untuk menerima aspirasi dan
mengakomodasi kepentingan masyarakat, sedangkan instrumen-instrumen
pendukungnya adalah penyediaan fasilitas komunikasi, kotak saran dan
layanan hotline, prosedur dan fasilitas pengaduan dan prosedur
banding pada pengadilan.
Menurut Jeff dan Shah (1998: 69) indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur daya
tanggap, yaitu:
Meningkatnya
kepercayaan masyarakat pada pemerintah, tumbuhnya kesadaran masyarakat,
meningkatnya jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan daerah dan
berkurangnya jumlah pengaduan.
1.6. Wawasan ke Depan
Wawasan
merupakan cara pandang yang jauh melebihi jangka waktu sekarang (Harsono, 1999:
56). Dalam kaitan dengan prinsip good governance wawasan yang
dimaksud adalah wawasan ke depan dari pemerintahan Indonesia.
Inti
prinsip ini adalah membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas
dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga
merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan daerahnya.
Tujuan
penyusunan visi dan strategi adalah untuk memberikan arah pembangunan secara
umum sehingga dapat membantu dalam penggunaan sumberdaya secara lebih efektif.
Untuk menjadi visi yang dapat diterima secara luas, visi tersebut perlu disusun
secara terbuka dan transparan, dengan didukung dengan partisipasi masyarakat, kelompok-kelompok
masyarakat yang peduli, serta kalangan dunia usaha. Pemerintah daerah perlu
proaktif mempromosikan pembentukan forum konsultasi masyarakat, serta membuat
berbagai produk yang dapat digunakan oleh masyarakat.
Instrumen
dasarnya adalah komitmen politik pada masa depan Indonesia secara umum dan masa
depan daerah secara khusus, sedangkan instrumen-instrumen pendukungnya adalah
proses perencanaan partisipatif, peraturan-peraturan yang memberikan kekuatan
hukum pada visi, strategi dan rencana pembangunan.
Menurut Jeff dan Shah (1998: 69) indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur wawasan
ke depan, yaitu:
Adanya visi dan
strategi yang jelas dan mapan dengan kekuatan hukum yang sesuai, adanya
dukungan dari pelaku dalam pelaksanaan visi dan strategi dan adanya kesesuaian
dan konsistensi antara perencanaan dan anggaran.
1.7. Akuntabilitas
Akuntabilitas
adalah kemampuan untuk mempertang-
gungjawabkan semua
tindakan dan kebijakan yang telah ditempuh (Mardiasmo, 2001: 251). Prinsip ini
mengandung makna meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam
segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Seluruh pembuat
kebijakan pada semua tingkatan harus memahami kebijakan yang diambil harus
dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat. Untuk mengukur kinerja secara
obyektif perlu adanya indikator yang jelas. Sistem pengawasan perlu diperkuat
dan hasil audit harus dipublikasikan, dan apabila terdapat kesalahan harus
diberi sanksi.
Instrumen
dasar akuntabilitas adalah peraturan perundang-undangan yang ada, dengan
komitmen politik akan akuntabilitas maupun mekanisme pertanggungjawaban,
sedangkan instrumen-instrumen pendukungnya adalah pedoman tingkah laku dan
sistem pemantauan kinerja penyelenggara pemerintahan dan sistem pengawasan
dengan sanksi yang jelas dan tegas.
Menurut Jeff dan Shah (1998: 70) indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur akuntabilitas, yaitu:
Meningkatnya
kepercayaan dan kepuasan masyarakat terhadap pemerintah, tumbuhnya kesadaran
masyarakat, meningkatnya keterwakilan berdasarkan pilihan dan kepentingan
masyarakat, dan berkurangnya kasus-kasus KKN.
1.8. Efisiensi dan Efektivitas
Efisiensi
berkaitan dengan penghematan keuangan, sedangkan efektivitas berkaitan dengan
ketepatan cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah (Handoko, 1998: 23).
Prinsip ini menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan
menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab.
Pelayanan masyarakat harus mengutamakan kepuasan masyarakat, dan didukung
mekanisme penganggaran serta pengawasan yang rasional dan transparan.
Lembaga-lembaga yang bergerak di bidang jasa pelayanan umum harus
menginformasikan tentang biaya dan jenis pelayanannya. Untuk menciptakan
efisiensi harus digunakan teknik manajemen modern untuk administrasi kecamatan
dan perlu ada desentralisasi kewenangan layanan masyarakat sampai tingkat
keluruhan/desa.
Instrumen
dasar dari efisiensi dan efektivitas adalah komitmen politik sedangkan
instrumen pendukungnya adalah struktur pemerintahan yang sesuai kepentingan
pelayanan masyarakat, adanya standar-standar dan indikator kinerja untuk
menilai efektivitas pelayanan, pembukuan keuangan yang memungkinkan
diketahuinya satuan biaya, dan adanya survei-survei kepuasan konsumen.
Menurut Jeff dan Shah (1998: 71) indikator yang dapat
digunakan untuk mengukur efisiensi
dan efektivitas, yaitu:
Efisiensi:
Meningkatnya
kesejahteraan dan nilai tambah dari pelayanan masyarakat, berkurangnya
penyimpangan pembelanjaan, berkurangnya biaya operasional pelayanan dan mendapatkan
ISO pelayanan. Dilakukannya swastanisasi dari pelayanan masyarakat.
Efektivitas:
Meningkatnya masukan
dari masyarakat terhadap penyimpangan (kebocoran, pemborosan, penyalahgunaan
wewenang, dan lain-lain) melalui media massa dan berkurangnya penyimpangan.
0 komentar:
Posting Komentar