A.
Pendapatan
Asli Daerah (PAD)
1.
Pengertian
dan sumber – sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Sejak diberlakukannya otonomi
daerah, daerah didorong agar dapat
berkreasi dan berinovasi dalam mencari
sumber penerimaan daerah yang dapat mendukung pembiayaan pengeluaran daerah.
Salah satu alternative sumber penerimaan tersebut adalah pajak dan retribusi
daerah yang telah ditetapkan dalam Undang-undang tentang pemerintahan daerah
sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber dari daerah itu
sendiri (Abidin, 2002).
Menurut Mardiasmo (2002:132),
“pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak
daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang
sah”.
Menurut Undang-Undang No 33 tahun
2004, yang dimaksud dengan PAD adalah: “Pendapatan daerah yang bersumber dari
hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah, yang bertujuan untuk memberikan
keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi
daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.
PAD tersebut dapat bersumber dari:
1. Pajak
Daerah;
Ialah pajak negara yang diserahkan
kepada daerah untuk dipungut sesuai peraturan perundang-undangan yang
dipergunakan guna membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik. Adapun ciri-ciri dari pajak daerah
adalah sebagai berikut:
a) Pajak
daerah berasal dari pajak negara yang diserahkan kepada daerah sebagai pajak
daerah.
b) Penyerahan dilakukan berdasarkan undang-undang.
c) Pajak
daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan undang-undang dan/atau
peraturan hukum lainnya.
d) Hasil
pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan
urusan-urusan rumah tangga daerah atau untuk membiayai pengeluaran daerah
sebagai badan hukum publik
2. Retribusi
Daerah ;
Yakni pungutan daerah sebagai
pembayaran atas pemakaian jasa atau karena mendapatkan jasa pekerjaan, usaha
atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau karena jasa yang diberikan oleh
daerah. Ciri-ciri pokok retribusi daerah adalah sebagai berikut:
a) Retribusi
dipungut oleh daerah.
b) Dalam
pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang langsung dapat
ditunjuk.
c) Retribusi
dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan, atau mendapatkan jasa yang disediakan daerah.
3. Perusahaan
Daerah;
Dalam hal ini laba perusahaan
daerah diharapkan dapat menjadi sumber
pemasukan bagi daerah. Maka dari itu, dalam batas-batas tertentu pengelolaan
perusahaan haruslah bersifat profesional dan harus tetap berpegang pada prinsip
ekonomi secara umum, yakni efisiensi. Dalam penjelasan umum UU No. 5/1974, pengertian perusahaan daerah dirumuskan
sebagai “suatu badan usaha yang dibentuk oleh daerah untuk memperkembangkan
perekonomian daerah dan untuk menambah penghasilan daerah”. Dari kutipan
diatas tergambar dua fungsi pokok dari perusahaan daerah, yakni sebagai
dinamisator perekonomian daerah yang berarti harus mampu memberikan
rangsangan/stimulus bagi berkembangnya perekonomian daerah dan sebagai
penghasil pendapatan daerah. Ini berarti perusahaan daerah harus mampu
memberikan manfaat ekonomis sehingga mendapat keuntungan yang dapat disetorkan
ke kas daerah. Perusahaan daerah merupakan salah satu komponen yang diharapkan
mampu memberikan kontribusinya bagi pendapatan daerah, tapi sifat utama dari
perusahaan daerah bukanlah berorientasi pada profit (keuntungan), akan tetapi
justru dalam memberikan jasa dan menyelenggarakan kemanfaatan umum. Atau dengan
kata lain, perusahaan daerah. menjalankan fungsi ganda yang harus tetap
terjamin keseimbangannya, yakni fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Meskipun
demikian hal ini bukan berarti bahwa perusahaan daerah tidak mampu memberikan
kontribusi maksimal bagi kemandirian keuangan daerah. Pemenuhan fungsi sosial
oleh perusahaan daerah dan keharusan untuk mendapat keuntungan yang
memungkinkan perusahaan daerah dapat memberikan sumbangan bagi pendapatan
daerah, bukanlah dua pilihan yang saling berbenturan melainkan keduanya dapat
berjalan saling beriringan antara pemenuhan fungsi sosial dan fungsi ekonomi
yang berorientasi pada keuntungan. Agar kedua fungsi dari perusahaan daerah ini
dapat terwujud maka dalam pengelolaannya dibutuhkan suatu profesionalisme.
4. Lain-lain PAD yang Sah.
Menurut Undang-undang No. 32 Tahun
2004, yang dimaksud dengan Lain-lain PAD yang sah antara lain penerimaan daerah
di luar pajak dan retribusi daerah seperti jasa giro, hasil penjualan aset
daerah. Lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.33
Tahun 2004, meliputi:
a) hasil
penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan
b) jasa
giro
c) pendapatan
bunga
d) keuntungan
selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing
e) komisi,
potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan
barang dan/atau jasa oleh daerah.
Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 terdapat
klasifikasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terbaru yakni antara lain: Pajak
daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan daerah yang dipisahkan, dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Jenis pajak daerah dan
retribusi daerah dirinci menurut objek pendapatan sesuai dengan undang-undang
tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Jenis hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup bagian
laba atas penyertaaan modal pada perusahaan milik daerah/ BUMD, bagian laba
atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/ BUMN, dan bagian laba
atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha
masyarakat. Jenis lain-lain PAD yang sah disediakan untuk menganggarkan penerimaan
daerah yang tidak termasuk dalam pajak daerah, retribusi daerah dan hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut objek pendapatan
yang mencakup hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro,
pendapatan bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan
komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau
pengadaan barang dan / atau jasa oleh daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap
mata uang asing, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan,
pendapatan denda pajak, pendapatan denda retribusi. Pendapatan hasil eksekusi
atau jaminan, pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan,
pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
Menurut Halim
(2004:67), “PAD dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan,
yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan hasil
pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD yang sah”.
Klasifikasi PAD yang dinyatakan oleh Halim (2004:67) adalah sesuai dengan
klasifikasi PAD berdasarkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 yakni antara lain:
1. Pajak Daerah
Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000
tentang perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan
retribusi daerah dalam Saragih (2003:61), yang dimaksud dengan pajak daerah
adalah “iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepada daerah
tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah”. Menurut Halim
(2004:67), “pajak daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak”. Dalam
Pudyatmoko (2002:14) dijelaskan Jenis-jenis pajak daerah untuk Propinsi dan kabupaten/kota
berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000 tersebut disebutkan :
Pasal 2:
a. Jenis Pajak Propinsi yang terdiri dari:
Ø Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas
air
Ø Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan di atas air
Ø Pajak Bahan Kendaraan Bermotor
Ø Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah
Tanah dan air permukaan
b. Jenis Pajak Kabupaten/ Kota yang terdiri dari:
Ø Pajak hotel
Ø Pajak restoran
Ø Pajak hiburan,
Ø Pajak reklame,
Ø Pajak penerangan jalan,
Ø Pajak pengambilan bahan galian golongan C,
Ø Pajak parkir
2. Retribusi Daerah
Yang dimaksud dengan
retribusi menurut Saragih (2003:65) adalah “pungutan daerah sebagai pembayaran
atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau
diberikan oleh Pemda untuk kepentingan orang pribadi atau badan”.
Menurut Halim
(2004:67), “Retribusi daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari
retribusi daerah”.
Retribusi untuk
kabupaten/kota dapat dibagi menjadi 2, yakni:
a)
Retribusi
untuk kabupaten/kota ditetapkan sesuai kewenangan masing-masing daerah, terdiri
dari: 10 jenis retribusi jasa umum, 4 jenis retribusi perizinan tertentu,
b)
Retribusi
untuk kabupaten/kota ditetapkan sesuai jasa/pelayanan yang diberikan oleh
masing-masing daerah, terdiri dari: 13 jenis retribusi jasa
usaha.(Kadjatmiko,2002:78).
Jenis pendapatan
retribusi untuk kabupaten/kota meliputi objek pendapatan berikut:
a)
Retribusi
pelayanan kesehatan,
b)
Retribusi
pelayanan persampahan/kebersihan,
c)
Retribusi
pergantian biaya cetak KTP,
d)
Retribusi
pergantian cetak akta catatan sipil,
e)
Retribusi
pelayanan pemakaman,
f)
Retribusi
pelayanan pengabuan mayat,
g)
Retribusi
pelayanan parkir ditepi jalan umum,
h)
Retribusi
pelayanan pasar,
i)
Retribusi
pengujian kendraan bermotor,
j)
Retribusi
pemeriksaan alat pemadam kebakaran,
k)
Retribusi
penggantian biaya cetak peta,
l)
Retribusi
pengujian kapal perikanan,
m)
Retribusi
pemakaian kekayaan daerah,
n)
Retribusi
jasa usaha pasar grosir atau pertokoan,
o)
Retribusi
jasa usaha tempat pelelangan,
p)
Retribusi
jasa usaha terminal,
q)
Retribusi
jasa usaha tempat khusus parkir,
r)
Retribusi
jasa usaha tempat penginapan/pesanggrahan/villa,
s)
Retribusi
jasa usaha penyedotan kakus,
t)
Retribusi
jasa usaha rumah potong hewan,
u)
Retribusi
jasa usaha pelayaran pelabuhan kapal,
v)
Retribusi
jasa usaha tempat rekreasi dan olah raga,
w)
Retribusi
jasa usaha penyebrangan diatas air,
x)
Retribusi
jasa usaha pengolahan limbah cair,
y)
Retribusi
jasa usaha penjualan produksi usaha daerah,
z)
Retribusi
izin mendirikan bangunan,
aa)
Retribusi
izin tempat penjualan minuman beralkohol,
bb) Retribusi izin gangguan,
cc)
Retribusi
izin trayek. (Halim,2004:68).
3. Hasil Perusahaan
Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan
Menurut Halim
(2004:68), “Hasil perusahaan milik Daerah dan hasil Pengelolaan kekayaan milik
Daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan Daerah yang berasal dari hasil
perusahaan milik Daerah dan pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan”.
Menurut Halim (2004:68), jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan
berikut: “1) bagian laba Perusahaan milik
Daerah, 2) bagian laba lembaga keuangan Bank, 3) bagian laba lembaga keuangan non Bank, 4) bagaian laba atas penyertaan modal/investasi”.
4.
Lain-Lain PAD yang Sah
Menurut Halim
(2004:69), “pendapatan ini merupakan penerimaan Daerah yang berasal dari
lain-lain milik pemerinyah Daerah”. Menurut Halim (2004:69), jenis penndapatan
ini meliputi objek pendapatan berikut, “1) hasil penjualan aset Daerah yang
tidak dipisahkan, 2) penerimaan jasa giro, 3) penerimaan bunga deposito, 4)
denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, 5) penerimaan ganti rugi atas
kerugian/kehilangan kekayaan Daerah”.
2.
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
a.
Pengertian
APBD
Menurut UU No. 33
tahun 2004, “Anggaran pendapatan dan belanja daerah yang selanjutnya disebut
APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan
peraturan daerah tentang APBD”.
Menurut Saragih (2003:
127), “APBD merupakan suatu gambaran atau tolak ukur penting keberhasilan suatu
daerah di dalam meningkatkan potensi perekonomian daerah. Artinya, jika
perekonomian daerah mengalami pertumbuhan, maka akan berdampak positif terhadap
peningkatan pendapatan daerah (PAD)”. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD), adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Unsur-unsur APBD menurut Halim (2004: 15-16)
adalah sebagai berikut:
ü rencana kegiatan suatu daerah, beserta
uraiannya secara rinci,
ü adanya sumber penerimaan yang merupakan target
minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas tersebut, dan
adanya biaya-biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang
akan dilaksanakan,
ü jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan
dalam bentuk angka,
ü periode anggaran yang biasanya 1 (satu) tahun.
Sebagai alat
pemerintah yang digunakan dalam menggerakkan roda pemerintahan dan pembangunan,
anggaran dalam organisasi publik memiliki beberapa fungsi. Menurut Mardiasmo (2002:183) pengendalian, kebijakan
fiskal, politik, koordinasi, evaluasi kinerja, memotivasi manajemen, dan menciptakan ruang publik.
Ø Anggaran
berfungsi sebagai alat perencanaan, yang antara lain digunakan untuk:
a). Merumuskan tujuan serta sasaran kebijakan
sesuai dengan visi dan misi yang ditetapkan,
b). Merencanakan berbagai program dan kegiatan
untuk mencapai tujuan organisasi serta merencanakan alternatif sumber
pembiayaannya,
c). Mengalokasikan sumber-sumber ekonomi pada
berbagai program dan kegiatan yang telah disusun,
d). Menetukan indikator kinerja dan tingkat
pencapaian strategi.
Ø Anggaran berfungsi sebagai alat pengendalian,
yang digunakan antara lain untuk:
a). Mengendalikan efisiensi pengeluaran,
b). Membatasi kekuasaan atau kewenangan Pemda,
c). Mencegah adanya overspending, underspending
dan salah satu sasaran (misappropriation) dalam pengalokasian
anggaran pada bidang lain yang bukan merupakan prioritas,
d). Memonitor kondisi keuangan dan pelaksanaan
operasioanl program atau kegiatan pemerintah.
Ø Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal
digunakan untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui
pemberian fasilitas, dorongan, dan koordinasi kegiatan ekonomi masyarakat
sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Ø Anggaran sebagai alat politik digunakan untuk
memetuskan prioritas-prioritas dan kebutuhan keuangan terhadap prioritas
tersebut. Anggran sebagai dokumen politik merupakan bentuk komitmen eksekutif
dan kesepakatan legislatif atas penggunaan dana publik untuk kepentingan
tertentu. Anggaran bukan sekedar masalah teknis akan tetapi lebih merupakan
alat politik (pilitical tool). Oleh karena itu, penyusunan anggaran
membutuhkan political Skill, qualition building, keahlian bernegoisasi,
dan pemahaman tentang prinsip manajemen keuangan publik. Kegagalan dalam
melaksanakan anggaran yang telah disetujui dapat menurunkan kredibilitas atau
bahkan menjatuhkan kepemimpinan eksekutif.
Ø Angggaran sebagai alat koordinasi antar unit
kerja daalm organisasi poemda yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran.
Anggaran yang disusun dengan baik akan mampu mendeteksi terjadinya
inkonsistensi suatu unit kerja dalam pencapaian tujuan organisasi. Disamping
itu, anggaran publik juga berfungsi sebagai alat komunikasi antar unit kerja.
Ø Anggaran sebagai alat evaluasi kinerja.
Anggaran pada dasarnya merupakan wujud komitmen Pemda kepada pemberi wewenang
(masyarakat) untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.
Kinerja Pemda akaln dinilai berdasarkan target anggaran yang dapat
direalisasikan.
Ø Anggaran dapat digunakan sebagai alat untuk
memotivasi manajemen Pemda agar bekerja secara ekonomis, efektif dan efisien
dalam mencapai target kinerja. Agar dapat memotivasi pegawai, anggaran
hendaknya bersifat challenging but attainable atau demanding but
achievable. Maksudnya, target kinerja hendaknya ditetapkan dalam batas
rasioanal yang dapat dicapai (tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah).
Ø Anggaran dapat juga digunakan sebagai alat
untuk menciptakan ruang publik (public sphere), dalam arti bahwa proses
penyusunan anggaran harus melibatkan seluas mungkin masyarakat. Keterlibatan masyarakat tersebut
dapat dilakukan melalui proses penjaringan aspirasi masyarakat yang hasilnya
digunakan sebagai dasar perumusan arah dan kebijakan umum anggaran. Kelompok
masyarakat yang terorganisir umumnya akan mencoba mempengaruhi anggaran untuk
kepentingan mereka. Kelompok lain dari masyarakat yang kurang terorganisir akan
mempercayakan aspirasinga melalui proses politik yang ada. Jika tidak ada alat
untuk menyampaikan aspirasi mereka, maka mereka akan melakukan
tindakan-tindakan lain: misal, tindakan massa, melakukan boikot, vandalisme,
dan sebagainya.
Peraturan pemerintah (2000) menyatakan bahwa
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat (APBD) adalah
suatu rencana keuangan tahunan Daerah sebagai dasar pengelolaan keuangan Daerah
dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber pendapatan dan penggunaan dana
pemerintah daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah. APBD pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen
kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan umum dan
kesejahteraan masyarakat di daerah. Mardiasmo
(2000:11) mengatakan bahwa salah satu aspek penting dari pemerintah daerah yang
harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan dan anggaran
daerah.anggaran daerah atau APBD merupakan instrumen kebijakan utama bagi
pemerintah daerah,menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas
dan efektivitas pemerintah daerah.Anggaran daerah seharusnya digunakan sebagai
alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan belanja,alat bantu pengambilan
keputusan dan perencanaan pembangunan serta alat otoritas pengeluaran dimasa
yang akan datang dan ukuran standar untuk evaluasi Surat Keputusan Mendagri (2000:1-3) mengatakan
bahwa penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah(APBD) hendaknya mengacu
pada norma dan prinsip anggaran.
ü Transparansi dan akuntabilitas
anggaran.Transparansi tentang anggaran daerah merupakan salah satu persyaratan
untuk mewujudkan pemerintahan yang baik,bersih dan bertanggung jawab.Selain tiu
setiap dana yang diperoleh,penggunaannya harus dapat dipertanggungjawabkan.
ü Disiplin anggaran.APBD disusun dengan
berorientasi pada kebutuhan masyarakat tanpa harus menigggalkan keseimbangan
antara pembiayaan penyelenggaraan pemerintah,pembangunan dan pelayanan
masyarakat.Oleh karena itu,anggaran yang disusun harus dilakukan berlandaskan
azas efisiensi,tepat guna,tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan.
ü Keadilan anggaran.Pembiayaan pemerintah daerah
dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dipikul oleh segenap
lapisan masyarakat.Untuk itu,pemerintah wajib mengalokasikan penggunaannya
secara adil agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa
diskriminasi dalam pemberian pelayanan.
ü Efisiensi dan efektifitas anggaran.Dana yang
tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan
masyarakat.Oleh karena itu,untuk dapat mengendalikan tingkat efisiensi dan
efektifitas anggaran,maka dalam perencanaan perlu ditetapkan secara jelas
tujuan,sasaran,hasil dan manfaat yang akan diperoleh masyarakat dari suatu
kegiatan atau proyek yang diprogramkan.
ü Format
anggaran.Pada dasarnya APBD disusun berdasarkan format anggaran surplus atau
defisit (surplus defisit budget).Selisih antara pendapatan dan belanja
mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran.Apabila terjadi
surplus,daerah dapat membentuk dana cadangan,sedangkan bila terjaadi defisit
dapat ditutupi antara lain melalui sumber pembiayaaan pinjaman dan atau
penerbitan obligasi daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Fungsi-Fungsi
Anggaran Daerah
Berbagai
fungsi APBN/APBD sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (4) UU No. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, yaitu :
1.
Fungsi Otorisasi
Anggaran
daerah merupakan dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun
yang bersangkutan.
2.
Fungsi Perencanaan
Anggaran
daerah merupakan pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun
yang bersangkutan.
3.
Fungsi Pengawasan
Anggaran
daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah
daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
4.
Fungsi Alokasi
Anggaran
daerah diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya,
serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
5.
Fungsi Distribusi
Anggaran
daerah harus mengandung arti/ memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan
6.
Fungsi Stabilisasi
Anggaran
daerah harus mengandung arti/ harus menjadi alat untuk memelihara dan
mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
c. Prinsip-prinsip
anggaran daerah
Prinsip-prinsip
dasar (azas) yang berlaku di bidang pengelolaan Anggaran Daerah yang berlaku
juga dalam pengelolaan Anggaran Negara / Daerah sebagaimana bunyi penjelasan
dalam Undang Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu :
1.
Kesatuan
Azas
ini menghendaki agar semua Pendapatan dan Belanja
Negara/Daerah
disajikan dalam satu dokumen anggaran.
2. Universalitas
Azas
ini mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam
dokumen anggaran.
3. Tahunan
Azas
ini membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu tahun
tertentu
4. Spesialitas
Azas
ini mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci
secara
jelas peruntukannya.
5. Akrual
Azas ini
menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani untuk pengeluaran yang
seharusnya dibayar, atau menguntungkan anggaran untuk penerimaan yang
seharusnya diterima, walaupun sebenarnya belum dibayar atau belum diterima pada
kas
6. Kas
Azas ini
menghendaki anggaran suatu tahun anggaran dibebani pada saat terjadi
pengeluaran/ penerimaan uang dari/ ke Kas Daerah Ketentuan mengenai pengakuan dan
pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1 angka 13, 14, 15 dan 16 dalam UU Nomor 17 Tahun 2003, dilaksanakan
selambatlambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan
dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan
pengukuran berbasis kas.
d.
Struktur
APBD
Dengan dikeluarkannya
kebijakan otonomi daerah, maka akan membawa konsekuensi terhadap berbagai
perubahan dalam keuangan daerah, termasuk terhadap struktur APBD. Sebelum UU
Otonomi Daerah dikeluarkan, struktur APBD yang berlaku selama ini adalah
anggaran yang berimbang dimana jumlah penerimaan atau pendapatan sama dengan
jumlah pengeluaran atau belanja. Kini struktur APBD mengalami perubahan bukan
lagi anggaran berimbang, tetapi disesuaikan dengan kondisi keuangan daerah.
Artinya, setiap daerah memiliki perbedaan struktur APBD sesuai dengan kapasitas
keuangan atau pendapatan masing-masing daerah.
Adapun struktur APBD
berdasarkan Permendagri No.13 Tahun 2006, “Struktur APBD merupakan satu
kesatuan terdiri dari: a). Pendapatan Daerah, b). Belanja Daerah, dan c).
Pembiayaan Daerah”.
a) Pendapatan Daerah
Pendapatan yang
dianggarkan dalam APBD meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum
Daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak Daerah dalam satu tahun
anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh Daerah. Pendapatan Daerah
dikelompokkan sebagai berikut:
1).
Pendapatan Asli Daerah
Kelompok
pendapatan asli daerah dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas:
a.
Pajak
Daerah,
b.
Retribusi
Daerah,
c.
Hasil
Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan
d.
Lain-lain
Pendapatan Asli Daerah yang Sah.
·
Jenis
pajak daerah dan retribusi daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai
dengan Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yaitu
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 18
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Juncko peraturan Daerah
Nomor 65 Tahun 2001 dan Kepmendagri Nomor 35 tentang Pajak Daerah dan Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah
·
Jenis
hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan sebagaimana dirinci menurut
obyek pendapatan yang mencakup:
1.
bagian
laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik Daerah/BUMD,
2.
bagian
laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN, dan
3.
bagian
laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha
masyarakat.
·
Jenis
laian-lain Pendapatan Asli Daerah yang dirinci menurut obyek pendapatan yang
mencakup:
1)
Hasil
penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan,
2)
Jasa
Giro,
3)
Pendapatan Bunga,
4)
Penerimaan
atas Tuntutan Ganti Kerugian Daerah,
5)
Penerimaan
Komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau
pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah,
6)
Penerimaan
keuntungan dari selisih nilai tukar Rupiah terhadap Mata Uang Asing,
7)
Pendapatan
denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan,
8)
Pendapatan denda pajak
9)
Pendapatan denda retribusi,
10)
Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan,
11)
Pendapatan dari pengembalian,
12)
Fasilitas sosial dan fasilitas umum,
Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan
pelatihan, dan
14)
Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
b). Belanja Daerah
Belanja Daerah
merupakn semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan
bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkuutan. Berdasarkan Kepmendagri
Nomor 29 Tahun 2002, Belanja terdiri dari:
1. Belanja Aparatur Daerah,
2. Belanja Pelayanan Publik,
3. Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan,
4. Belanja Tidak Tersangka.
Berdasarkan Permendagri
Nomor 13 Tahun 2006, Belanja Menurut kelompok belanja terdiri dari:
1)
Belanja Tidak Langsung
Belanja tidak
langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung
dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung dibagi
menurut jenis belanja yang terdiri dari:
a. Belanja
Pegawai,
b. Bunga,
c.
Subsidi,
d. Hibah,
e. Bantuan
Sosial,
f.
Belanja Bagi Hasil,
g.
Bantuan Keuangan,
h. Belanja
Tidak Terduga,
2) Belanja Langsung
Belanja langsung merupakan belanja yang
dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan progran dan kegiatan.
Kelompok belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:
a.
Belanja
Pegawai, dimaksudkan untuk pengeluaran honorarium/upah dalam melaksanakan
program dan kegiatan Pemerintah Daerah,
b.
Belanja
Barang dan Jasa, dan
c.
Belanja
Modal.
c). Pembiayaan Daerah
Pembiayaan disediakan
untuk menganggarkan setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada Tahun anggaran yang
bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya, yang terdiri atas:
1. Penerimaan
Pembiayaan
1). Sisa lebih perhitungan anggaran Tahun lalu (SILPA)
Sisa lebih perhitungan
anggaran Tahun lalu merupakan selisih lebih antara realisasi pendapatan dengan
belanja Daerah yang dalam APBD Induk dianggarkan berdasarkan estimasi.
Sedangkan realisasi SILPA dianggarkan dalam perubahan APBD sesuai dengan yang
ditetapkan dalam peraturan Daerah tentang penetapan perhitungan APBD tahun
sebelumnya.
2). Pencairan dana cadangan
Pemerintah daerah dapat membentuk dana
cadangan guna mendanai kegiatan yang penyediaan dananya tidak dapat
sekaligus/sepenuhnya dibevbankan dalam satu tahun anggaran. Pembentukan dana cadangan dianggarkan pada pengeluaran
pembiayaan dalam tahun anggaran yang berkenaan ditetapkan dengan peraturan
daerah dan ditempatkan direkening sendiri. Pencairan dana cadangan digunakan
untuk menganggarkan pencairan dana cadangan dari rekening dana cadangan ke
rekening kas umum Daerah dalam Tahun anggaran berkenaan. Jumlah yang
dianggarkan yaitu sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan dalam peraturan
Daerah tentang pembentukan dana cadangan berkenaan.
3). Penerimaan Pinjaman dan Obligasi
Penerimaan Pinjaman dan Obligasi digunakan untuk
menganggarkan semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang
dari semua pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk
membayar kembali. Penerimaan Pinjaman dan Obligasi yang dianggarkan disesuaikan
dengan rencana penarikan pinjaman dalam tahun anggaran sesuai dengan perjanjian
pinjaman.
4). Hasil Penjualan Aktiva Daerah yang Dipisahkan
Penerimaan hasil penjualan Aktiva Daerah yang
dipisahkan digunakan untuk menganggarkan hasil penjualan kekayaan Daerah yang
dipisahkan dapat berupa penjualan perusahaan milik Daerah/BUMD, penjualan
aktiva milik Pemerintah Daerah yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga, atau
hasil divestasi penyertaan modal Pemerintah Daerah.
5). Penerimaan Kembali Pemberain Pinjaman
Penerimaan Kembali Pemberain Pinjaman digunakan untuk
menganggarkan posisi penerimaan kembali pinjaman yang diberikan kepada
pemerintah pusat dan/atau pemerintah Daerah lainnya.
6). Penerimaan Piutang Daerah
2. Pengeluaran
Pembiayaan, mencakup:
1). Pembentukan Dana Cadangan
2).
Investasi (Penanaman Modal) Pemerintah Daerah
Investasi Pemerintah Daerah digunakan untuk
menganggarkan kekayaan Pemerintah yang diinvestasikan babik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang.
a). Investasi jangka pendek, mencakup deposito berjangka
waktu 3 (tiga) bulan sampai denga 12 (dua belas) bulan yang dapat diperpanjang
secara otomatis, pembelian surat utang negara (SUN), Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN).
b). Investasi Jangka Panjang terdiri dari investasi
permanen dan non permanen antara lain surat berharga yang dibeli pemerintah
dalam rangka mengendalikan suatu Badan Usaha, misalnya pembelian surat berharga
untuk menambah kepemilikan modal saham pada suatu Badan Usaha.
3).
Pembayaran Pokok Utang yang Jatuh Tempo
Pembayaran Pokok
Utang digunakan untuk menganggarkan pembayaran kewajiban atas pokok utang yang
dihitung berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan
jangka panjang.
4). Pemberian Pinjaman Daerah
3. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun
Berjalan.
1). Sisa lebih pembiayaan tahun anggran berjalan
digunakan untuk menganggarkan sisa lebih antara pembiayaan netto dengan
surplus/defisit APBD. Pembiayaan Netto merupakan selisih antara penerimaan
pendanaan dengan pengeluaran pendanaan yang harus dapat menutup defisit
anggaran yang direncanakan.
2). Jumlah yang dianggarkan pada sisa Lebih Perhitungan
Anggaran Tahun Berjalan pada APBD induk merupakan angka estimasi berhubung
jumlah selisih lebih perhitungan anggaran pada tahun lalu yang juga masih angka
estimasi.
3). Dalam perubahan APBD Tahuin berjalan, Sisa Lebih
Perhitungan Anggaran Tahun Berjalan tersebut dianggarkan sepenuhnya untuk
mendanai program dan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan Daerah sehingga
jumlahnya menjadi sama dengan nol.
B.
Hubungan
antara Keuangan Pusat dan Daerah
1. Pengertian
Keuangan Daerah
Pengertian
keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat 1
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai
berikut :
Berdasarkan
pengertian tersebut pada prinsipnya keuangan daerah mengandung unsur pokok
yaitu:
- Hak Daerah yang dapat dinilai
-
Kewajiban Daerah dengan uang
-
Kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban tersebut.
Hak
daerah dalam rangka keuangan daerah adalah segala hak yang melekat pada Daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam usaha
pemerintah daerah mengisi kas daerah. Pada akhir pemelajaran ini peserta dapat
menjelaskan tentang pengertian keuangan daerah, hubungan keuangan daerah dengan
keuangan pusat, serta pengurusan keuangan daerah dalam rangka membantu
pelaksanaan tugasnya sebagai auditor.“Keuangan daerah adalah semua hak
dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa
uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban tersebut”.
Hak
Daerah tersebut meliputi antara lain :
a) Hak
menarik pajak daerah (UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 Tahun 2000).
b) Hak
untuk menarik retribusi/iuran daerah (UU No. 18 Tahun 1997 jo UU No. 34 tahun
2000).
c) Hak
mengadakan pinjaman (UU No. 33 tahun 2004 ).
d) Hak untuk memperoleh dana perimbangan dari
pusat (UU No. 33 tahun 2004).
Pasal 1 UUD 1945 menetapkan negara Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Selanjutnya dalam pasal 18 UUD
1945 beserta penjelasannya menyatakan bahwa daerah Indonesia terbagi dalam
daerah yang bersifat otonom dan bersifat daerah administrasi. Pembangunan
daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan
berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumbersumber daya nasional
yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Penyelenggaraan pemerintahan daerah juga
merupakan subsistem dari pemerintahan negara sehingga antara keuangan daerah dengan
keuangan negara akan mempunyai hubungan yang erat dan saling mempengaruhi.
Untuk
mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata
dan bertanggung jawab di daerah serta secara proporsional diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan,
serta perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah. Sumber pembiayaan pemerintahan
daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah
dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Setiap
penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah dalam
rangka desentralisasi dan dekonsentrasi disertai dengan pengalihan sumber daya
manusia dan sarana serta pengalokasian anggaran yang diperlukan untuk
kelancaran pelaksanaan penyerahan dan pelimpahan kewenangan tersebut. Sedangkan penugasan dari
pemerintahpusat kepada daerah dalam rangka tugas pembantuan disertapengalokasian
anggaran.
Dari
ketiga jenis pelimpahan wewenang tersebut, hanya pelimpahan wewenang dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi saja yang merupakan sumber keuangan daerah
melalui alokasi dana perimbangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Sedangkan alokasi dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
dalam rangka dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak merupakan sumber penerimaan
APBD dan diadministrasikan serta dipertanggungjawabkan secara terpisah dari
administrasi keuangan dalam pembiayaan pelaksanaan
desentralisasi.
Berdasarkan Pasal 15 UU No.32 Tahun 2004
Tentang pemerintahan daerah, hubungan keuangan pusat dan daerah dijelasakan
sebagai berikut :
1)
hubungan dalam bidang keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) dan (5) meliputi :
a.
pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan ureusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
b.
pengalokasaian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah
c.
pemberian pinjaman dan/atau hibah kepeda perintahan daerah
2)
hubungan dalam bidang keuangan antar pemerintahan daerah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (4) dan (5) meliputi :
a.
bagi hasil pajak dan non pajak antara pemerintahan daerah provinsi dan
pemerintahan kabupaten/kota
b.
pendanaan urusann pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama
c.
pembiayaan bersama atas kerjasama antar daerah
d.
pinjaman dan/atau hibah antar pemerintahan daerah
3)
hubungan dalam bidang keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam peraturan perundang-undangan
Alokasi
Pusat Daerah
n
Tujuannya:
1. Untuk memperbaiki Vertical imbalances
2. Untuk memperbaiki horizontal imbalances
3. Untuk menjaga standard pelayan publik pada
setiap daerah
4. Penyeimbang bagi spill-over effects
5. Pembangunan ekonomi
6. Mendorong pelaksanaan otonomi daerah
C.
Dana
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Pembentukan Undang-Undang
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada
Pemerintahan Daerah yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan
Daerah. Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function, yang
mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi
kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan.
1.
Pengertian
Dana Perimbangan
Dana Perimbangan merupakan
pendanaan Daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum
(DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk
membantu Daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi
ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk
mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-Daerah.
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah
dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi
a.
Dana
Bagi Hasil (DBH)
Dana Bagi Hasil adalah dana
yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan
angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi.
b.
Dana
Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum,
selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk
mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
c.
Dana
Alokasi Khusus (DAK)
Dana Alokasi Khusus,
selanjutnya disebut DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional.
2.
Prinsip
Dana Perimbangan
Perimbangan keuangan antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah mencakup pembagian keuangan antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan
transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah.
Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan subsistem Keuangan Negara sebagai
konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pemberian sumber keuangan
Negara kepada Pemerintahan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi
didasarkan atas penyerahan tugas oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah
dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal.
Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam
rangka pendanaan penyelenggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas
Pembantuan.